Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong Industri Kecil dan Menengah (IKM) kakao di Makassar untuk meningkatkan hilirisasi produknya. Foto : Medcom.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong Industri Kecil dan Menengah (IKM) kakao di Makassar untuk meningkatkan hilirisasi produknya. Foto : Medcom.

Cara Kemenperin Dorong Hilirisasi Produk Kakao di Makassar

Nia Deviyana • 06 Februari 2020 19:57
Makassar: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong Industri Kecil dan Menengah (IKM) kakao di Makassar untuk meningkatkan hilirisasi produknya. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kemenperin Eko S.A. Cahyanto mengatakan hilirisasi meningkatkan nilai jual produk hingga sepuluh kali lipat.
 
"Kalau kita bergantung pada komoditas yang masih belum diolah terlalu jauh, itu kan nilai tambahnya sedikit. Di sini per kilogram kakao itu hanya Rp20 ribu-Rp25 ribu. Tetapi kalau kita proses di dalam smart factory, itu bisa sepuluh kali lipat harganya, bisa Rp200 ribu sampai Rp250 ribu," ujarnya saat mengunjungi Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) di Makassar, Kamis, 6 Februari 2020.
 
"Apalagi kalau ditambah promosi dan kemasan yang bagus, hasilnya akan luar biasa," imbuhnya.
Eko bilang Sulawesi Selatan menjadi salah satu provinsi yang menyumbang komoditas paling dicari masyarakat dunia, seperti kakao dan kopi. Dengan hadirnya balai besar BBIHP sebagai inkubator bisnis IKM di Sulsel, Eko ingin pelaku IKM mendapatkan fasilitas untuk bisa tumbuh dan menguasai proses produksi.
 
"Dengan balai ini ada banyak hal yang kita transfer ke IKM. Seperti dalam pengolahan kakao menjadi produk cokelat, misalnya, kita kasih tau kalau tanpa kemasan produk bisa bertahan satu bulan, dengan kemasan bisa bertahan enam bulan," jelasnya.
 
Kementerian Perindustrian menetapkan industri kakao sebagai salah satu andalan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 karena termasuk yang paling banyak melibatkan IKM.  Pada 2018, sebanyak 85 persen produk kakao telah diekspor menyumbang devisa hingga USD1,13 miliar. Sedangkan 15 persen sisanya merupakan produk kakao olahan yang dipasarkan di dalam negeri.
 
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun dengan volume produksi mencapai 220 ribu ton sepanjang 2018.
 
Lebih lanjut, industri pengolahan kakao dinilai masih bakal terus tumbuh dan berkembang, karena produknya telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini.
 
"Kita tahu sekarang kondisi dunia tidak mudah, mulai dari perang dagang sampai virus korona. Ini kesempatan kita memanfaatkan minimal pasar kita sendiri. Memang tidak bisa cepat dan tidak mudah tapi ini kesempatan, untuk memulai bagaimana mendorong hilirisasi dari produk tersebut. Pasarnya luar biasa di sini apalagi pasar ekspornya," pungkas Eko.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

(SAW)



LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif