Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fadli Zon menilai langkah pemerintah membentuk induk usaha (holding) di sejumlah sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu upaya privitasisasi terhadap perusahaan-perusahaan strategis negara.
Menurut dia, dengan privatisasi potensi penjualan aset-aset negara tanpa persetujuan DPR pun akan memiliki kencederungan yang sangat tinggi jika dibandingkan tanpa dilakukan holding.
"Saya lihat ada potensi dan kecenderungan itu (penjualan aset) besar walaupun argumentasi pemerintah masuk akal yakni untuk memperbesar kapital. Apapun alasannya, fungsi pengawasan DPR tidak boleh dihilangkan," seru Fadli kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 29 November 2017.
Rencana Kementerian BUMN membentuk enam holding company hampir matang. Holding menyasar sektor pertambangan, jasa keuangan, minyak dan gas bumi, dan tiga sektor lainnya yang masih digodok.
Di tahap awal, pembentukan holding company menyasar sektor pertambangan. Ditandai dengan dihapusnya status persero pada PT Timah (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk.
Setelah status persero dihapus, saham negara di tiga perusahaan tersebut akan diberikan (inbreng) ke PT Indonesia Asahan Aluminium (persero) selaku induk usaha. Sehingga Antam, PTBA dan Timah tidak lagi menyandang status BUMN.
Menurut politisi Partai Gerindra ini, aksi tersebut akan mengubah mekanisme pengawasan. Sebab ketiga perusahaan tersebut tak lagi diawasai oleh DPR. Tugas dan fungsi pengawasan parlemen pun disebut bakal tersandera.
"Untuk mengambil kebijakan strategis yang memiliki dampak pada kepemilikan atau ownership BUMN tadi, harusnya pemerintah berkonsultasi dan mendapat persetujuan DPR. Ini karena BUMN itu diberikan amanah sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 untuk menguasai kekayaan alam negara. Tapi ini tidak ada komunikasi yang baik," tegasnya.
Berangkat dari hal itu, Fadli pun meminta pemerintah memberikan penjelasan yang komprehensif kepada DPR seputar pelaksanaan holdingisasi BUMN.
"Apalagi PP 72/2016 yang menjadi landasan hukum holding BUMN sampai hari ini masih ditolak teman-teman Komisi VI. Kami ingin PP 72/2016 direvisi dulu sebelum holding," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News