Padahal, gugatan terkait Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 86 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2013 mengenai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sudah diajukan AS dan Selandia Baru sejak 2013. Selain itu, pemerintah juga sudah merevisi peraturan-peraturan tersebut dan mengajukan banding di WTO.
Namun, Indonesia tetap kalah karena tidak bisa membuktikan alasan dan argumentasi. Sehingga Indonesia dianggap tidak patuh dan konsisten dalam menjalankan keputusan WTO.
"Kami pun sebagai masyarakat baru mengetahui dan terkejut mengapa Indonesia sampai digugat Amerika Serikat dan Selandia Baru di WTO. Kekalahan di WTO ini bukan persoalan enteng, bahkan bisa merusak citra Indonesia di perdagangan internasional," ujar Syaiful dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat, 1 Maret 2019.
Menurut dia, gugatan peraturan terkait RIPH yang dianggap membatasi impor hortikultura dari negara luar itu langsung direspons pemerintah. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan aturan baru dan menyederhanakan perizinan impor serta mengeluarkan 18 komoditi dari daftar produk hortikultura.
Sementara produk regulasi di sektor hortikultura yang dibuat Kementerian Pertanian (Kementan) dianggap menabrak aturan-aturan WTO. Pasalnya, pemerintah sedang meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
Kata Syaiful, upaya mengejar swasembada pangan sebagai prioritas pemerintah seharusnya diterjemahkan oleh kementerian terkait dengan baik, komprehensif, dan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk perdagangan internasional.
"Kita harus belajar dari Thailand, Brasil, dan negara-negara lainnya yang bisa menjaga kedaulatan dan kesejahteraan petaninya tapi tetap menjaga keseimbangan perdagangan internasional," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Subdit Investasi Lingkungan dan Pembangunan Kemendag Sulistio Wijajanto mengatakan pemerintah telah melakukan penyesuaian kebijakan terkait importasi hewan, produk hewan, dan produk hortikultura, dengan menghilangkan aturan yang berbenturan dengan perjanjian WTO.
"Fungsi pengawasan terus ditingkatkan sehingga importasi tetap terkendali. Kepentingan nasional Indonesia menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan, antara lain target swasembada pangan, ketahanan pangan, serta perlindungan terhadap petani," ungkap dia.
Tak hanya itu, lanjutnya, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang dapat mengendalikan impor dengan memanfaatkan policy space dalam perjanjian WTO.
"Contoh domestic support dan public stock holding (beras), SSG (produk susu dan cengkeh), pengenaan trade remedies (safeguard, anti-dumping, anti-subsidi), pengecualian umum, SPS measure, TBT measure, kemungkinan mengenakan seasonal tariff, dan pengelolaan pelabuhan," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News