Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Tapera, Yoseph Umar Hadi, adapun peraturan perundangan lain yang dimaksudkan yaitu UU NO 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No 20/2011 tentang Rumah Susun.
Yoseph menegaskan bahwa inti pokok dari RUU Tapera adalah menyediakan sebuah payung hukum bagi pemerintah untuk mewajibkan setiap warga negara Indonesia maupun asing yang bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menabung sebagian dari penghasilannya di Bank Kustodian yang akan dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera untuk dipupuk dan dimanfaatkan guna penyediaan rumah murah dan layak.
"Apabila semua pekerja baik formal maupun mandiri, yang memiliki penghasilan di atas upah minimum menabung, maka tercapai dana tabungan yang sangat besar," kata dia, dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Dia menambahkan, hasil pemupukan jumlah dana yang besar ini akan dipergunakan untuk menyubsidi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), untuk memperoleh kredit perumahan dengan bunga murah dan jangka panjang.
Selain itu, pemanfaatan dana Tapera dan hasil pemupukannya hanya untuk peserta yang akan membeli, membangun, atau merenovasi rumah pertama, serta akan dikembalikan pada saat peserta berusia 58 tahun atau sudah pensiun.
"Inilah subtansi kegotongroyongan seluruh warga bangsa bahwa penabung yang mampu dan sudah memiliki rumah merelakan sebagian penghasilannya ditabung dengan bunga murah, dengan tujuan membantu warga yang penghasilannya rendah," tambah dia.
Adapun semangat kebersamaan juga dicerminkan dengan kewajiban pemberi kerja kepada karyawannya. Sementara besarnya kontribusi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah agar mudah disesuaikan dengan perkembangan ekonomi.
RUU Tapera adalah RUU inisiatif DPR RI yang pertama dalam periode 2014-2019 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) setelah disepakati bersama DPR dan pemerintah untuk diprioritaskan di 2015.
Ia menjelaskan, RUU ini sudah pernah menjadi inisiatif DPR RI pada periode 2009-2014, namun tidak berhasil diselesaikan. Sehingga dirinya berpendapat RUU ini memiliki sebuah gagasan atau cita-cita untuk menyelesaikan permasalahan perumahan, utamanya MBR yang selama ini hampir mustahil dapat memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri.
Menurutnya, MBR tidak bisa memenuhi persyaratan perbankan sehingga tidak mendapat akses pembiayaan (kredit) di perbankan untuk dapat mencicil rumah. Akibatnya, jumlah MBR yang tidak memiliki rumah dari tahun ke tahun terus meningkat mencapai backlog hampir 15 juta Kepala Keluarga (KK).
"Jumlah ini akan terus bertambah bila tidak ada suatu terobosan (revolusi di bidang perumahan)," tambah dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News