"Tidak berarti FTZ diubah menjadi KEK, tapi itu pilihan. Mana yang mau lebih nyaman bagi pelaku usaha," kata Kepala BP Batam Edy Putra Irawady ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa, 5 Maret 2019.
Dirinya menambahkan, FTZ mengharuskan produksinya untuk diekspor ke luar negeri. Sementara untuk KEK, produksinya bisa dikirimkan ke daerah lain tidak diwajibkan untuk ekspor ke luar negeri.
"Kalau FTZ itu kan orientasinya ekspor. Kalian dengar lah kasus anti dumping, kalau dia masuk ke sini dia akan masuk peraturan dalam negeri. Tapi kalau KEK, bisa ekspor dalam negeri. Kita butuh industri-industri substitusi impor," jelas dia.
Menurut dia, BP Batam akan mengembangkan investasi baru yang memiliki nilai tambah tinggi. Ada beberapa industri yang akan dikembangkan di Batam yakni industri logistik, jasa keuangan, jasa kesehatan, jasa pendidikan, serta jasa pelayanan.
Edy menyebutkan, dengan KEK para pengusaha juga akan lebih diuntungkan dibandingkan dengan menggunakan FTZ. Dalam KEK terdapat sejumlah keunggulan yaitu tax allowance, tax holiday, serta pengurangan pajak, maupun tarif bea dan cukai.
"Dia tidak memerlukan izin-izin lain dalam kawasan KEK. Nah ini, yang kurang dipahami di Batam pada umumnya. Bahwa Batam itu punya kelebihan, hanya KEK yang bisa mendapatkan tax holiday," jelasnya.
Pemerintah akan mengubah status Batam dari kawasan perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Langkah ini diharapkan bisa meningkatkan minat investor untuk menanamkan modal di Batam.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan pembentukan Batam menjadi KEK akan berbeda dengan yang sudah ada. Apalagi dengan status Batam sudah menjadi FTZ terlebih dahulu.
"Kita kan memang arahnya akan kita coba transform dari FTZ ke KEK. Nah KEK yang seperti apa? Kita harus melihat realitas di Batam," kata dia ditemui di Gedung Mall Pelayanan Publik (MPP) Batam, Jumat, 1 Februari 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News