"Sebab untuk membeli kertas uang dari luar negeri itu kan triliunan. Begitu juga sistem pengamanan di uang. Jadi kalau (transaksi) pakai nontunai menghemat lumayan," ujarnya saat mengisi diskusi di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa, 26 Maret 2019.
Penerapan transaksi nontunai di Indonesia memang masih belum tinggi. Masyarakat masih suka melakukan pembayaran dengan uang tunai. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), transaksi tunai masih mendominasi di angka 76 persen dibandingkan transaksi nontunai sebesar 24 persen.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko, hal ini tak lepas dari rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Layanan perbankan belum merata di semua kalangan.
"Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum punya rekening bank, jadi lebih banyak gunakan transaksi tunai," kata Onny pada diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain itu, faktor lain yang membuat transaksi tunai masih lebih disukai yakni karena biaya yang dikenakan pada merchant cukup tinggi dibandingkan bertransaksi via kartu kredit atau debit.
"Sebagai contoh kalau transaksi dengan kartu kredit itu, merchant kena biaya 2-3 persen, kalau dengan debit satu persen. Belum lagi harga mesin EDC (Electronic Data Capture) yang mahal," kata dia.
Teknologi Quick Response (QR) Code dianggap bisa menjadi solusi untuk mengubah kebiasaan masyarakat untuk beralih ke pembayaran nontunai.
Selain lebih praktis dari segi manfaatnya untuk konsumen, teknologi QR juga tergolong murah. Merchant tidak perlu menyediakan mesin EDC karena transaksi dilakukan melalui smartphone.
Belum lama ini, BI melaksanakan uji coba pertama QRIS (QR Indonesia Standard) dengan melibatkan 68 merchant dan 19 institusi keuangan baik perbankan, fintech, maupun penerbit uang elektronik.
(AHL)