Angka ini meningkat signifikan hingga 245 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Pada Oktober 2018, ekspor nikel ore nilainya sebesar USD64,57 juta. Secara volume meningkat signifikan 210 persen dari sebelumnya 1,9 juta.
"Mereka jor-joran sebelum aturan pelarangan itu. Memang tinggi sekali kenaikannya," kata Kasubdit Statistik Ekspor BPS Mila Hertinmalyana, di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Jumat, 15 November 2019.
Secara kumulatif, Januari hingga Oktober 2019, nilai ekspor bijih nikel mencapai USD866,87 juta dengan volume 26,65 juta ton. Posisi tersebut meningkat 63,7 persen dari sisi nilai dari periode yang sama di 2018 dan naik 60,45 persen dari sisi volume.
Kenaikan yang drastis ini yang kemudian membuat pemerintah pun mempercepat kembali dengan mengambil kebijakan pemberhentian ekspor sementara. Pemerintah melakukan moratorium ekspor bijih nikel sejak 29 Oktober lalu.
Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan moratoroium tersebut dikarenakan adanya kelebihan kuota ekspor. Sedangkan pemerintah mempercepat larangan ekspor dari aturan awal yang akan dimulai di awal 2022 menjadi awal 2020, ekspor bijih nikel dengan kadar maksimal 1,7 persen telah melampaui kuota hingga tiga kali lipat.
"Jadi sementara kita evaluasi karena ada laporan yang kita dapat ekspor dari nikel ore itu sudah melampaui kuota sampai tiga kali lebih dari kuota yang ada," kata Luhut di Kemenko Maritim, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Oktober 2019.
Sembari menghentikan ekspor, pemerintah melakukan investigasi pada perusahaan nikel termasuk mengecek progres pembangunan smelter. Ada 11 perusahaan yang diinvestigasi dalam dua minggu usai kebijakan diberlakukan. Hasil investigas awal, sembilan perusahaan dibebaskan untuk ekspor kembali karena tidak terbukti melanggar, dan dua lainnya masih ditindaklanjuti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News