Ignatius mengatakan pemusnahan uang tidak layak edar tersebut adalah uang asli yang tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan berdasarkan standar kualitas yang ditetapkan oleh BI, yaitu uang lusuh, cacat, rusak dan uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran.
Uang lusuh adalah uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya tetapi, kondisi uang telah berubah yang disebabkan antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, coret-coretan. Untuk uang cacat adalah uang hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh BI. Serta uang rusak adalah uang yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau uang yang ukuran fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya antara lain karena robek, atau uang yang mengerut.
"Oleh karena itu, masyarakat harus lebih lagi menghargai dan memperlakukan uang rupiah dengan baik, sehingga peracikan tidak perlu dilakukan, dan secara otomatis mengurangi biaya produksi," ujarnya.
Sejak Januari hingg Desember 2014, peracikan uang tidak layak edar di Sulut berfluktuasi, kadang turun tapi terkadang meningkat. Januari 2014 uang yang dimusnakan sebanyak Rp40,18 miliar, Februari Rp85,76 miliar, Maret Rp66,26 miliar, April Rp91,59 miliar, Mei Rp98,68 miliar, Juni Rp73,57 miliar.
Pada Juli turun hingga Rp18,95 miliar, namun naik lagi di bulan Agustus sebesar Rp69,98 miliar, September Rp86,71 miliar, Oktober Rp28,02 miliar, November Rp110,77 miliar serta Desember Rp88,61 miliar.
Pecahan uang yang dimusnahkan sebagian besar pecahan 100.000 sebanyak 47.335 lembar, pecahan 50.000 sebanyak 29.919 lembar, pecahan 20.000 sebanyak 4.498 lembar, pecahan 10.000 sebanyak 3.158 lembar, pecahan 5.000 sebanyak 2.148 lembar, pecahan 2.000 sebanyak 1.432 lembar dan pecahan 1.000 sebanyak 125 lembar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News