"Bercermin dari Brexit, bergabungnya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN perlu dicermati lebih lanjut agar tidak mengulang pengalaman Brexit," kata Agus, seperti dikutip dari Antara, di Manado, Kamis (30/6/2016).
Ia tidak menampik kondisi berbeda kemungkinan terjadi dalam MEA. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar dalam MEA, tidak serta merta Indonesia akan dominan menentukan kebijakan blok kerja sama ini. Faktor mengganjal salah satunya adalah Indonesia masih berkutat dengan angka kemiskinan yang tinggi.
Kemudian, lanjutnya, kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, dan banyaknya gaduh politik untuk hal yang tidak substansial serta menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok. Apabila dikaitkan dengan MEA yang melibatkan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, maka Tiongkok berpotensi dominan dalam kebijakan MEA.
"Indonesia perlu memperjuangkan pasal perjanjian yang memuat pengunduran diri mudah (soft exit) apabila ada negara anggota MEA yang mundur. Ini didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia berpotensi akan mundur di masa depan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News