BI. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
BI. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Gubernur BI: Kami Minta JPMorgan Pertajam Analisis Tentang RI

Suci Sedya Utami • 27 Agustus 2015 19:40
medcom.id, Jakarta: Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo meminta JPMorgan untuk melihat kembali hasil risetnya mengenai usulan melepaskan dana di negara berkembang, termasuk Indonesia.
 
"Nanti kami beri masukan agar mereka mempertajam analisis mereka," kata Agus, di Jakarta, Kamis (27/8/2015).
 
Namun, meskipun demikian pihaknya menghormati hasil pandangan riset yang telah dibuat JPMorgan. Menurut Agus, riset tersebut merupakan hak independen dari institusi keuangan komersial asal AS tersebut di mana menyebutkan devaluasi Yuan akan berdampak pada negara berkembang termasuk Indonesia. 

Sehingga negara berkembang termasuk Indonesia akan mulai ditinggalkan oleh investor karena akan mengalihkan dana ke negara safe haven seperti AS, Jepang, dan Eropa."Tulisan harus kami hormati tapi bisa kita kaji," tuturnya.
 
Dalam riset tersebut juga mengatakan RAPBN 2016, Indonesia masih akan mengandalkan banyak tambahan pinjaman yang lebih besar. 
 
"Saya ingin klarifikasi itu kan baru rancangan baru akan dibahas dan diputuskan Oktober. Jadi kalau masih rancangan tidak usah jadi dasar utntuk keluarkan rekomendasi dan membuat rakyat panik," ujarnya.
 
Lebih lanjut, Agus mengimbau masyarakat agar jangan terprovokasi dengan pandangan tersebut, hingga nantinya berujung untuk menjual SUN dengan murah dan membeli kembali dengan harga murah. 
 
"Mohon tetap tenang pembahasan APBN masih jalan, dan di dokumen tambahan surat utang negara dibanding tahun lalu hanya minta nambah Rp50 triliun. Defisit kan 2,1 persen dan kita batasnya di UU APBN tiga persen. Itu bukan hal relevan," pungkasnya.
 
Sebelumnya, Analis JPMorgan, Arthur Lukand Bert Gochet, mengatakan ada tiga peristiwa baru yang mengubah pandangan asing tentang Indonesia. Pertama, devaluasi yuan memperburuk prospek mata uang Asia. JPMorgan memprediksi nilai tukar rupiah jatuh ke Rp14.300 pada kuartal IV-2015.
 
Kedua, investor asing mulai menjual obligasi pasar negara berkembang. Tercatat, capital outflow yang keluar dari obligasi negara berkembang mencapai USD2 miliar. Ketiga, pemerintah Indonesia terus mencatatkan defisit neraca dagang meskipun ada reformasi fiskal.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan