"Tiongkok menghabiskan USD600 triliun di 1990-an untuk investasi infrastruktur," ujar dia, dalam Forum Diskusi Bank Infrastruktur, di Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (2/4/2015).
Hasilnya, Negeri Tirai Bambu ini menjelma menjadi manufaktur raksasa, pusat investasi regional maupun global serta mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan. Singapura pun demikian, negara mungil di Asia Tenggara ini menjadi pusat konektivitas dunia karena mempunyai infrastruktur memadai.
Sayang, hal positif itu belum berlaku di Indonesia. Menurut dia, Indonesia jauh tertinggal jika dibanding sejumlah negara di ASEAN. Hal ini bisa dilihat dari indeks daya saing global 2013-2014 dari World Economic Forum yang menempatkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada peringkat 61. Posisi ini lebih buruk dari Malaysia di urutan 29, Brunei Darussalam 58, Thailand 47, dan Singapura 2.
"Indonesia lebih baik dibanding Filipina di peringkat 96, Vietnam 82, Laos 84, Kamboja 101, dan Laos 141," tutur dia.
Jika dibanding negara lain, dana infrastruktur di Indonesia jauh lebih rendah karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar Rp5.519 triliun atau sekira Rp1.102 triliun rata-rata kebutuhan per tahunnya.
Dana sebesar ini belum dapat dipenuhi pemerintah karena dalam APBN-P 2015, anggaran belanja infrastruktur sebesar Rp290 triliun atau yang terbesar dalam sejarah APBN. Namun jika dibanding dengan total PDB Indonesia sekira Rp10 ribu triliun sampai Rp11 ribu triliun, nilai anggaran ini kurang dari tiga persen terhadap PDB.
"Sementara biaya infrastruktur? Tiongkok 10 persen dan Brasil sebesar lima persen dari PDB masing-masing. Jadi kita perlu menutupi kekurangan anggaran pembangunan infrastruktur Rp1.102 triliun per tahun," ujar Emma.
Atas dasar itu, dia mengaku, perlu sebuah bank infrastruktur untuk mempercepat ketertinggalan infrastruktur di negeri ini. Alasannya, dijelaskan Emma, perbankan nasional hanya mampu menyalurkan kredit infrastruktur 16,8 persen dari keseluruhan kredit atau hanya Rp244,8 triliun.
"Bank Infrastruktur diharapkan tidak hanya menjadi penyedia dana jangka panjang bagi pendanaan infrastruktur semata, tapi juga agen pembangunan bagi ekonomi Indonesia. Bank Infrastruktur dapat menciptakan sinergi investor swasta, private equity, dan perbankan dalam pendanaan proyek infrastruktur," papar Emma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id