Gonjang-ganjing politik mulai dari pemilu legislatif, pemilu presiden hingga saat ini persaingan politik di kursi pemerintahan dan parlemen masih terasa dan membuat ekonomi Indonesia terbelengu.
Kondisi politik yang memanas tersebut ibarat jalanan berbatu besar di daerah pegunungan yang digunakan untuk rute rally sepeda, di mana si pengendara harus mengayuh sepedanya lebih kuat untuk mencapai puncak atau garis finish.
Begitu juga dengan pemerintah harus melakukan langkah ekstra agar ekonomi Indonesia tidak sampai terpuruk. Pasalnya, pertarungan dua kubu politik menjadikan pasar dan investor was-was.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden seperti yang diinginkan sebagian besar investor, nyatanya tak lantas membuat kisruh reda. Kubu Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) tak dengan mudahnya menerima hasil tersebut. Mereka sempat membawa sengketa pemilu ini ke tataran Mahkamah Konstitusi (MK).
Meskipun pemerintah di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berusaha menenangkan pasar dengan menjelaskan gaduh politik yang terjadi sifatnya temporer dan kondisi akan kembali normal tentunya juga dibarengi dengan transisi dua pemerintahan yang berjalan mulus.
Namun, pasar lebih memilih wait and see, dan rupiah sebagai fundamental perekonomian nasional merosot hingga menembus Rp12.200 per USD. Begitu juga dengan wajah IHSG yang memerah akibat tekanan politik.
"Saya kira semua pihak termasuk masyarakat internasional khawatir terhadap perkembangan politik yang terjadi di dalam negeri kita. Kita semua tahu bahwa kemarin terjadi gejolak politik di Thailand, dan sekarang baru-baru ini terjadi Hongkong, jangan sampai hal tersebut terjadi di Indonesia," ujar Ketua umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Suryo Bambang Sulisto.
Tak banyak memang yang bisa dilakukan pemerintah SBY selain memastikan stabilitas serta meyakinkan pasar dan dunia bahwa kondisi politik nasional akan kembali membaik.
Ekonomi RI Tumbuh Melambat
Meski kondisi politik Indonesia masih berada satu tingkat lebih baik dibanding Thailand, Hongkong, dan India yang juga melalui pemilu, namun tetap saja hal tersebut tak bisa menjamin ekonomi tanah air unggul.
Mantan Menko Perekonomian, Chairul Tanjung yang memerkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir 2014 paling realistis hanya tercapai pada kisaran 5,2 persen.
"Kita berharap 5,5 persen dapat tercapai, tapi melihat tren global, lebih realistis angka konservatif kita 5,2-5,5 persen," sebut pria yang akrab disapa CT itu, di Jakarta, kala itu.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beberapa pekan setelah dilantik di jajaran Kabinet Kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Bambang memprediksi pertumbuhan hingga akhir tahun 2014 hanya bisa mencapai 5-5,1 persen. Angka ini tentunya masih jauh dan meleset dari target dalam APBN-P 2014 yang ditetapkan 5,5 persen.
"Pertumbuhan ekonomi memang akan mengalami sedikit efek tahun ini, yakni 5,1 persen," tutur Bambang dalam kesempatan bincang media di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, bahkan sebelumnya lebih optimis pertumbuhan tahun ini setidaknya bisa menembus di angka 5,2 persen. Namun, angka 5,1 persen ini lebih masuk akal untuk dicapai pada tahun ini.
Jika dibandingkan dengan periode ekonomi sebelumnya yakni 1999, 2004, dan 2009, sejumlah data ekonomi memang tahun 2014 menunjukkan kinerja ekonomi nasional yang cenderung tumbuh positif saat adanya masa transisi kepemimpinan.
Pada 1999 misalnya, meskipun pasca pertumbuhan tahun sebelumnya minus 13,8 persen akibat adanya krisis, pertumbuhan ekonomi kembali positif menjadi 0,79 persen. Bahkan pada triwulan II dan II pertumbuhan konsumsi pada masa pemilu tercatat melaju di atas 7 persen pasca krisis.
Begitu juga dengan pemilu 2004, dengan tantangan yang berbeda mengingat beberapa bulan setelah transisi kepemimpinan terjadi bencana Tsunami Aceh sehingga masih bisa dibilang awal menata pondasi pemerintahan dan ekonomi yang kokoh.
Namun, ekonomi tumbuh mencapai 5,13 persen. Dari sisi sektoral, pertumbuhan terjadi di semua sektor ekonomi kecuali pertambangan dan penggalian dengan variasi pertumbuhan 7-12 persen.
Sedangkan pada tahun politik 2009, atau pasca krisis global 2008, ekonomi masih dapat mempertahankan kinerja positifnya di saat digelarnya pemilu, pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan di level 4,6 persen.
Meski angka tahun ini lebih bagus dibanding tiga tahun politik sebelumnya, tetap saja perekonomian nasional slow down. Mengingat realisasi pertumbuhan pada kuartal I, II, dan III semakin melambat di mana masing-masing hanya mencapai 5,21 persen, 5,12 persen, dan 5,01 persen.
Pemerintah mengklaim bukan hanya faktor politik yang membuat wajah ekonomi nasional sendu. Faktor ekonomi global pun menjadi penyebabnya ekonomi Indonesia ikut terguncang.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia telah melanda sejumlah negara berkembang, seperti Tiongkok, Brasil, India, Turki, dan Afrika Selatan sejak pertengahan 2013 hingga kuartal I 2014.
Khususnya untuk Tiongkok yang hingga memangkas pertumbuhannya menjadi 7,5 persen dari yang awalnya double digit membuat Indonesia gigit jari. Pasalnya negara andalan ekspor Indonesia, khususnya di sektor komoditas yakni Tiongkok. Apalagi harga komoditas saat ini sedang menurun. Namun, Indonesia dikatakan lebih beruntung karena selamat dari dampak perlambatan ekonimi global.
Belum lagi harga minyak dunia beberapa bulan terakhir terpuruk ke level terendah, menembus di bawah USD60 per barel ternyata membawa harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dan harga komoditas lainnya ikut terseok.
Memang jatuhnya harga minyak dunia menjadi angin segar bagi anggaran BBM subsidi kita. Namun, dampak buruknya yakni kas negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas melorot dan menambah sempit ruang fiskal.
Pemerintah Baru yang Sigap Merespon
Tahu betul tiga kuartal pertama tahun ini realisasi pertumbuhan ekonomi melorot, pemerintah Presiden Joko Widodo yang baru dua bulan memerintah, langsung mengambil langkah cepat.
Sadar jika pemacu ekonomi salah satunya yakni infrastruktur yang selama ini terkendala, Jokowi tanpa pikir panjang namun matang, berani mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2.000 yang selama ini membuat ruang fiskal kecil.
Data menunjukkan betapa negeri ini telah membakar sia-sia uang ratusan triliun rupiah. Selama lima tahun anggaran saja, Rp714 triliun subsidi BBM terbuang percuma di jalanan. Sebaliknya, anggaran untuk kesehatan cuma Rp220 triliun dan infrastruktur Rp570 triliun.
Sialnya lagi, subsidi dengan besaran selangit itu melenceng dari sasaran. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya yang semestinya tidak layak dan tak pantas menikmati subsidi.
Kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi sekilas memang menyakitkan rakyat. Namun, jika kita lebih jernih menyikapi, kebijakan itu patut diapresiasi. Kita menaruh hormat kepada Jokowi yang mengedepankan keberanian untuk tidak populer demi menyelamatkan keuangan negara.
Bambang menekankan karena pemerintah merealokasi anggaran subsidi BBM untuk infrastruktur maka hal ini bisa mendorong pencapaian target pertumbuhan tahun depan yakni 5,8 persen yang diasumsikan di APBN 2015.
Bila itu dilakukan secara konsisten, mestinya target ekonomi di tahun-tahun selanjutnya sebesar 7 persen seperti yang diinginkan Jokowi dapat tercapai. Bahkan, langkah ini bisa menjadi modal untuk menghadapi tantangan ekonomi tahun depan yang dinilai bakal lebih berat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News