Ilustrasu kelas menengah atas Indonesia menahan belanja mereka - - Foto: MI/ Angga Yuniar
Ilustrasu kelas menengah atas Indonesia menahan belanja mereka - - Foto: MI/ Angga Yuniar

Kepercayaan Kelas Menengah Atas Jadi Kunci Pertumbuhan Konsumsi

Husen Miftahudin • 21 November 2020 20:30
Jakarta: Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan, konsumsi swasta yang menjadi motor utama ekonomi Indonesia mengalami tekanan paling dalam selama 2020 akibat kasus pandemi yang terus meningkat. Pada kuartal kedua dan ketiga, konsumsi swasta mengalami kontraksi masing-masing sebesar 5,5 persen dan empat persen.
 
Penurunan terdalam terjadi pada konsumsi yang berkaitan dengan leisure, yaitu sektor transportasi dan pergudangan dan sektor penyediaan akomodasi dan makan minum. Secara kumulatif pada tiga kuartal pertama 2020, kedua sektor tersebut terkontraksi masing-masing sebesar 15,6 persen dan 10,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
 
"Kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan sosial dan perilaku masyarakat, khususnya kelas menengah atas yang mengurangi kegiatan ekonomi untuk mencegah penularan covid-19 menjadi penyebab utama penurunan konsumsi seluruh golongan pendapatan," ungkap CORE Indonesia dalam CORE Economic Outlook 2021 dikutip Sabtu, 21 November 2020.

Hasil riset lembaga penelitian dan think-tank independen di bidang ekonomi itu juga mengatakan bahwa golongan pendapatan menengah atas yang berkontribusi 82 persen terhadap total konsumsi masyarakat, cenderung menahan belanja mereka.
 
Salah satu indikasi perilaku delayed purchase golongan menengah terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan yang mengalami peningkatan. Sementara itu, golongan pendapatan bawah mengalami penurunan daya beli sejalan dengan turun atau bahkan hilangnya pendapatan mereka selama masa pandemi.
 
Sepanjang Februari-Agustus 2020, sebanyak 2,56 juta penduduk kehilangan pekerjaan karena covid19. Namun, tekanan terhadap konsumsi golongan pendapatan bawah sedikit tertolong oleh bantuan sosial (bansos) pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), baik dalam bentuk transfer barang, uang, dan pemberian subsidi.
 
Oleh karena itu, pemulihan ekonomi pada 2021 akan ditentukan oleh pemulihan kepercayaan konsumen menengah atas. Tingkat kepercayaan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, terutama penurunan penularan dan fatality rate pandemi covid-19, tingkat adaptasi masyarakat terhadap pandemi, serta proses vaksinasi.

 
"Meningkatnya kepercayaan tersebut akan mendorong peningkatan belanja barang dan jasa yang tertahan selama 2020, terutama barang-barang tahan lama (durable goods) dan konsumsi leisure," imbuh CORE Indonesia.
 
Di sisi lain, belanja pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sentral dalam mendorong laju perekonomian pada tahun depan. Oleh karena itu, kebijakan fiskal masih didesain ekspansif. Defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan komponen belanja pemerintah dalam PDB diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 3-4 persen.
 
Di antara rencana belanja yang menonjol adalah program PEN yang masih berlanjut pada tahun depan. Belanja pegawai juga tumbuh sebesar 64 persen, mengakomodasi kebutuhan pemberian dana untuk gaji ke-13 dan Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak tersalurkan secara utuh pada tahun ini. Selain itu, belanja barang juga naik 32 persen setelah sempat terpotong akibat realokasi anggaran pada 2020.
 
"Namun, masih ada sejumlah tantangan yang kemungkinan harus dihadapi dalam kebijakan belanja pemerintah pada tahun depan. Pertama, lambatnya realisasi belanja, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang ditandai dengan penumpukan belanja pada periode akhir tahun anggaran," urai CORE Indonesia.
 
Kedua, anggaran yang tidak terserap masih akan cukup tinggi sehingga akan mengurangi manfaat APBN bagi perekonomian, terutama belanja yang memiliki efek pengganda yang besar. Ketiga, ketidaktepatan penyaluran anggaran, terutama penyaluran anggaran bantuan sosial dan subsidi, yang antara lain disebabkan oleh basis data yang belum sepenuhnya update.
 
"Keempat, potensi rendahnya pendapatan pemerintah, terutama dari pos perpajakan yang akan mendorong pemerintah mengerem belanja untuk mencegah pelebaran defisit," tutur dia.
 
Belajar dari pengalaman krisis sebelumnya, seperti krisis keuangan global 2008, penerimaan perpajakan memerlukan waktu recovery yang relatif lebih lama dibandingkan dengan proses pemulihan ekonomi. Apalagi, pada tahun depan, pemerintah berencana untuk kembali memberikan insentif pajak sehingga shortfall penerimaan pajak akan kembali terjadi. Tahun ini pertumbuhan penerimaan perpajakan diproyeksikan mengalami kontraksi hingga 20 persen.
 
"Meskipun demikian, jika pemerintah kembali mendorong Bank Indonesia (BI) untuk terlibat dalam pembiayaan fiskal, sebagaimana tahun ini, maka tekanan atas ruang fiskal dan kesinambungan fiskal akan relatif rendah. Apalagi, dibandingkan dengan negara-negara lain yang setara, keterlibatan Bank Indonesia dalam membeli surat utang pemerintah masih relatif kecil," pungkas CORE Indonesia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan