Kinerja perekonomian DIY lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi nasional maupun Jawa, yang masing-masing tumbuh sebesar 2,97 persen (yoy) dan 3,42 persen (yoy).
"Penurunan ekonomi tersebut utamanya disebabkan oleh statistical base effect. Setelah mengalami rekor pertumbuhan tertinggi di 2019 (PDRB DIY 6,60 persen yoy) maka secara statistik pertumbuhan ekonomi pada 2020 akan rendah," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia (DIY) Hilman Tisnawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 7 Mei 2020.
Dari lapangan usaha, Hilman menjelaskan statistical base effect memengaruhi kontraksi di sektor konstruksi dan pertanian. Ekonomi DIY tumbuh ditopang konstruksi Proyek Strategis Nasional (PSN) Yogyakarta International Airport (YIA), pembangunan underpass, dan sejumlah jalan lainnya pada 2019 lalu.
Sejak berakhirnya konstruksi YIA di 2019, ruang pertumbuhan semakin terbatas karena belum terdapat proyek konstruksi besar yang berjalan. Menurut Hilman, sektor pertanian pada triwulan pertama umumnya mengalami kenaikan produksi, utamanya disumbang oleh panen raya padi secara nasional. Namun sebagai akibat dari mundurnya musim hujan 2019-2020, masa panen raya padi turut bergeser dari bulan Maret menjadi April 2020.
"Fenomena ini terjadi di hampir seluruh daerah sentra produksi secara nasional. Sebagai catatan, apabila pertumbuhan ekonomi DIY mengecualikan statistical base effect dari sektor konstruksi dan pertanian, maka ekonomi DIY triwulan I-2020 mampu tumbuh 1,72 persen (yoy)," ungkapnya.
Hilman mengatakan efek ekonomi dari covid-19 mulai berdampak pada penurunan kinerja sektor pariwisata dan industri pengolahan di penghujung triwulan. Ia menilai secara umum kinerja pariwisata DIY pada awal 2020 relatif masih baik. Meskipun, sejak konfirmasi pasien covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, kinerja pariwisata di berbagai destinasi menurun.
Pada Maret 2020, jumlah wisatawan asing maupun domestik yang menginap di hotel berbintang di DIY turun 30,8 persen (yoy) dibanding tahun lalu. Lalu, jumlah penumpang angkutan udara juga menurun 30,2 persen (yoy) dibanding Maret 2019. Hilman berujar, penurunan kinerja pariwisata ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi sektor akomodasi makan minum, sektor transportasi, hingga industri pengolahan makanan minum tidak dapat tumbuh sebesar periode sebelumnya.
Sedangkan dari sisi kelompok pengeluaran, lanjutnya, kondisi ekonomi global yang juga mengalami penurunan menjadi momentum DIY untuk mencatatkan net-ekspor. Hal ini dianggap jadi catatan positif bagi kinerja DIY dalam peran nyata memperbaiki defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) yang dialami Indonesia. Setidaknya, pada triwulan pertama 2020 DIY mampu mendorong ekspor untuk tumbuh positif sebesar 5,25 persen (yoy) dengan pertumbuhan impor hanya sebesar 2,01 persen (yoy).
"Namun perlu diwaspadai, dampak ekonomi dari covid-19 yang terus memburuk di berbagai negara dapat menyebabkan penurunan kinerja ekspor DIY di masa yang akan datang," ucapnya.
Adapun kinerja inflasi DIY masih dinilai baik. Pada April 2020, inflasi DIY tercatat deflasi 0,24 persen (mtm). Dengan capaian tersebut laju inflasi DIY secara akumulatif sampai dengan April 2020 tercatat 0,50 persen (ytd) atau secara tahunan yakni 2,34 persen (yoy). Capaian inflasi DIY masih berada pada sasaran yang ditetapkan, yakni 3,0 persen ± satu persen (yoy).
Hilman mengutarakan terkendalinya inflasi DIY pada April 2020 disebabkan deflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food), sebagai dampak dari kecukupan stok pangan untuk memenuhi kebutuhan hingga Lebaran. Selain itu inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) juga menurun. Ini dipengaruhi penurunan tarif angkutan udara akibat pembatasan aktivitas masyarakat sehingga permintaan terhadap angkutan udara menurun.
"Kondisi tersebut juga memengaruhi prakiraan inflasi pada saat Ramadan dan Idulfitri yang lebih rendah daripada data historisnya. Bank Indonesia meyakini sampai dengan akhir 2020, inflasi akan terkendali dan rendah di kisaran sasaran 3±1 persen," ungkapnya.
Ia menambahkan, upaya menopang pertumbuhan ekonomi di DIY di tengah pandemi covid-19 diperlukan gotong royong seluruh lapisan masyakarat. Sejumlah hal itu yakni menjaga konsumsi kelas menengah ke bawah, misalnya dengan bantuan tunai jaminam hidup Rp600 ribu per kepala keluarga.
Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan penambahan likuiditas di perbankan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), pembelian SBN di pasar sekunder, term-repo perbankan, FX Swap, dan pembebasan tambahan giro bagi perbankan yang tidak memenuhi ketentuan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Hingga Mei 2020 Bank Indonesia telah melakukan injeksi likuiditas ke perbankan dengan total mencapai Rp503,8 triliun.
"Dengan langkah tersebut, perbankan saat ini telah memiliki likuiditas yang lebih dari cukup, sehingga mampu untuk mendorong perbankan dalam pembiayaan maupun restrukturisasi kredit kepada UMKM dan pelaku usaha dalam rangka pemulihan ekonomi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News