Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan PT SPL merupakan salah satu perusahaan penerima fasilitas kepabeanan di kawasan berikat. Fasilitas kepabeanan berupa penangguhan bea masuk atas barang impor untuk diolah di dalam negeri untuk kemudian diekspor kembali.
Namun, pada kenyataannya untuk mendapatkan fasilitas tersebut, PT SPL mendaftarkan bahwa barang yang akan diekspor sebesar 4038 roll kain tekstil terdiri dari lima kontainer. Kenyataannya dalam kontainer hanya ada 583 roll.
"Jauh lebih kecil. Bea Cukai mengatakan untuk tonase segitu, enggak mungkin beratnya segini (terlalu ringan) ternyata hanya 583 roll. Sementara sisanya merembes ke dalam negeri," kata Ani dalam konferensi pers di Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis 2 November 2017.
Harusnya, sisa yang disebar di dalam negeri tak dapat fasilitas kepabeanan, alias harus bayar bea masuk dan juga PPN. Namun, PT SPL mengakali agar mereka tak membayar kewajiban perpajakan dengan menyatakan semuanya diekspor.
Sehingga potensi kerugian negara ditimbulkan berdasarkan hasil investigasi yakni mencapai Rp118 miliar. Hal ini sebagai jumlah terbesar dengan kasus yang sama yakni melalui PLB.
Dalam kesempatan yang sama Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan kasus tersebut tak haya masuk ranah kepbeanan, tapi juga masuk dalam area tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Oleh karenanya pelaku yang merupakan Direktur Utama (FL) dan Direktur Keuangan (BS) akan dikenakan dua pasal, pertama pasal 102 huruf F UU Kepabeanan dengan ancaman pidana minimal satu tahun-maksimal 10 tahun dan pidana sebesar minimal Rp50 juta-maksimal Rp5 miliar. Serta pasal 3 UU 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan denda yang sama.
Dalam tindak pidana pencucian uang dideteksi uang yang seharusnya dibayarkan untuk bea masuk dan PPN selain mengalir ke rekening milik perusahaan, juga menggunakan beberapa rekening karyawan perusahaan sebagai penampung aliran dana.
Beberapa barang di antaranya 16 rekening senilai lebih dari Rp6,7 miliar, tanah dan bangunan dengan total luas tanah 7.893 meter peregi dengan nilai pembelian Rp23 miliar, mesin tekstil dengan nilai pembelian Rp50 miliar, satu unit apartemen dengan nilai pembelian Rp700 juta serta polis asuransi senilai lebih dari Rp1 miliar.
"Ada beberapa hal yang dihasilkan, kalau follow the suspect yang ditangkap operator saja, kalau dengan follow the money bukan hanya operator tapi juga penikmat atau aktor intelektualnya dan yang menyimpan kekayaan itu sendiri, kedua kita dapat gampang mencari asetdari berbagai transaksi, dengan demikian bahwa dengan follow the money dan follow the suspect ini," tambah Ketua PPATK Kiagus Badarddin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News