Selama ini, Indonesia mengimpor daging sapi dari Australia, India, Amerika Serikat, Selandia Baru, Kanada, dan Jepang. Dengan menambah negara penyuplai, maka semakin besar peluang Indonesia untuk mendapatkan daging sapi dengan kualitas dan harga yang lebih bersaing.
Upaya impor dilakukan untuk menjaga kestabilan harga jual daging di pasaran. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan sejumlah menteri untuk membuat langkah pengendalian harga bahan pangan. Jokowi menghendaki harga daging bergerak turun hingga level Rp80 ribu per kilogram.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meyakini bahwa peternakan dalam negeri tidak akan terganggu sekalipun pemerintah melakukan impor. Karena, pemerintah akan membuat sinergi antara perusahaan-perusahaan importir sapi bakalan dengan peternakan-peternakan kecil dalam jangka panjang.
"Feedloter (perusahaan penggemukan sapi) diminta impor sapi bakalan, tetapi harus ada kompensasi impor bibit," ujar Enggar dalam perbincangan dengan metrotvnews.com, Jumat (12/8/2016).
Dari bibit itu feedloter tersebut harus melakukan pembiakan untuk ternak sapi potong maupun sapi perah. "Kemudian, mereka (feedloter) ini nanti menjual sebagian dari sapinya dari hasil breeding (pembiakan) itu kepada peternak kecil untuk penggemukan," kata Enggar.
Dengan cara ini, ia melanjutkan, peternak kecil yang orientasi investasinya jangka panjang akan menikmati keuntungan dengan memadukan usahanya pada pola investasi jangka pendek. Sedangkan pengusaha feedloter yang semula selalu terbiasa investasi jangka pendek akan diajak mengkombinasikan usahanya untuk jangka panjang.
"Harus ada kombinasi seperti itu. Untuk rasionya, kami minta feedloter ajukan proposal," kata Enggar.
Menurut Enggar, kebijakan ini untuk mendukung program swasembada daging sekaligus tata niaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional. "Nanti sesudah mencukupi semua kebutuhan, maka tidak perlu lagi impor," kata Enggar.

Swasembada daging
Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo merumuskan Nawa Cita sebagai isu sentral pembangunan nasional menuju peningkatan produktivitas, daya saing, dan kemandirian bangsa. Swasembada pangan berkelanjutan merupakan salah satu program yang harus segera direalisasi, termasuk swasembada daging sapi.
Daging sapi merupakan salah satu pangan jenis pangan strategis yang harus dipacu produksinya, karena saat ini defisit komoditas daging sapi makin melebar. Apabila dihitung, jumlah konsumsi daging nasional setahun tidak kurang dari 650 ribu ton. Sementara itu kemampuan produksi dalam negeri diprediksi hanya 400 ribu ton sisanya dipenuhi oleh impor sapi bakalan dan daging sapi.
Peningkatan produktivitas sapi potong merupakan upaya penting lain yang terkait langsung dengan swasembada daging sapi. Permasalahan sentral peternakan sapi potong di Indonesia adalah populasi sapi yang sangat kecil dan skala usaha peternakan sapi rakyat yang juga sangat kecil.
Menurut pakar peternakan dari Universitas Padjadjaran, Rochadi Tawaf, sampai saat ini pengembangan peternakan sapi potong masih sepenuhnya diserahkan kepada kemampuan peternakan rakyat dalam penyediaan bibit atau bakalan. Padahal, sebenarnya itu merupakan tanggung jawab pemerintah.
Kewajiban itu tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. "Jadi mestinya, penyediaan bibit atau bakalan ini jangan lagi dibebankan sepenuhnya kepada peternakan rakyat," kata Rochadi kepada metrotvnews.com, Jumat (12/8/2016).
Alasannya, ketersediaan daging sapi yang digambarkan oleh pertumbuhan populasi sapi potong domestik masih sangat rendah, hanya sekitar 5,41 persen per tahun. Sedangkan permintaan yang digambarkan oleh konsumsi daging sapi tumbuh jauh lebih tinggi sekitar 12,42 persen.
Peternakan rakyat yang menguasai populasi ternak sapi 98 persen secara nasional hanya mampu berkontribusi sekitar 80 persen dalam penyediaan daging sapi secara nasional. Sementara perusahaan peternakan yang menguasai sekitar 2 persen dari populasi ternak, ternyata mampu berkontribusi 20 persen terhadap konsumsi nasional.
Berdasarkan fenomena tersebut, kiranya peran industri peternakan dapat dijadikan “kendaraan” bagi percepatan kemandirian dalam ketersediaan pangan protein hewani asal daging sapi, tentu dengan melakukan kerja sama dengan peternakan rakyat. "Sudah saatnya pemerintah menjalin kemitraan dengan peternakan rakyat. Selama ini insentif lebih banyak kepada perusahaan pengimpor," kata Rochadi.
Konsumsi meningkat
Bank Dunia pernah mengungkapkan bahwa pertumbuhan kelas menengah di Indonesia amat pesat. Pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari populasi, namun pada 2010 meningkat menjadi 56,5 persen. Tentu pertumbuhan itu menyebabkan melonjaknya konsumsi.
Melesatnya pertumbuhan jumlah kelas menengah di Indonesia dianggap sebagai pemicu melonjaknya permintaan daging sapi di dalam negeri. Secara tak langsung, permintaan daging yang tinggi membuat harga daging semakin mahal.
Pengusaha di sektor food and beverages, Elzan Aziz, mengakui kenyataan tersebut. "Ada pengaruhnya, mengakibatkan peningkatan daya beli di middle class. Sampai sekarang pun pasar middle class masih terus tumbuh," kata Elzan kepada metrotvnews.com, Jumat (12/8/2016).
Ia mencatat tren kenaikan penjualan produk steak di salah satu unit usahanya sekitar 2-5 persen dalam kurun tiga tahun terakhir. Fenomena ini pula yang mendasari langkah eskpansi yang agresif. Termasuk menyusun rencana untuk memperbanyak gerai.
Hal senada juga disampaikan Rochadi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, ia menemukan bahwa angka partisipasi konsumsi daging sapi hanya diwakili oleh 16 persen rumah tangga. Namun demikian, memang terjadi peningkatan konsumsi pada kluster rumah tangga tersebut sekitar 13 kg/kapita/tahun.
"Peningkatan konsumsi daging sapi per kapita per tahun terus meningkat pada kluster pengkonsumsinya, yaitu rumah tangga golongan menengah ke atas," kata Rochadi.
Namun, pemerintah diharapkan tidak gegabah dengan ngotot menurunkan harga daging hingga Rp80 ribu/kg. Karena, langkah menekan harga adalah solusi jangka pendek yang amat membebani pelaku usaha sapi potong. Dalam jangka panjang, bahkan dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada industri.
"Peningkatan produksi sapi dalam negeri menjadi kunci penyelesaian masalah. Namun untuk mencapainya harus melibatkan banyak pihak," kata Rochadi.
Misalnya, jika ingin harga jual daging sapi murah, pemerintah mesti membuat biaya produksi yang lebih rendah bagi pengusaha. "Produksi ternak sapi potong sangat dipengaruhi oleh pakan. Peningkatan mutu pakan sangat strategis untuk mendorong peningkatan kinerja agribisnis sapi potong. Nah, bagaimana caranya pakan ini murah?," kata Rochadi.

Tidak mudah
Enggar mengakui untuk mewujudkan keseimbangan demand dan supply melalui kebijakan tata niaga dan tata kelola daging sapi yang kondusif bagi peternak lokal bukan perkara gampang. Apalagi, mata rantai perdagangan daging sapi dari peternak kecil sampai ke pasar begitu panjang. "Mengurai ini tidak mungkin dalam tempo seminggu atau dua minggu," kata dia.
Ia menuturksan, arahan Presiden Jokowi yang disampaikan meliputi tiga hal. Yaitu menjamin ketersediaan bahan pangan, stabilkan harga pangan, dan serap produksi dalam negeri.
"Nah, yang terakhir itu paling sulit dibandingkan yang pertama dan kedua," kata Enggar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News