Perlambatan ekonomi di negara tersebut membuat permintaan menurun, akibatnya volume perdagangan global ikut merosot tajam dan menghantam ekonomi negara lainnya terutama negara berkembang. Beruntungnya, sebagai negara berkembang pada waktu itu, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di level enam persen.
Namun apesnya, perlambatan ekonomi tak hanya di Amerika Serikat. Negara dengan mesin ekonomi terbesar kedua, Tiongkok, ikut melambat. Pertumbuhan yang dahulu selalu berada dua digit, saat ini bahkan ada di bawah tujuh persen. Perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai importir utama komoditas tentu memukul ekonomi negara-negara penghasil komoditas seperti Indonesia.
Permintaan komoditas yang turun membuat harga barang tersebut anjlok. Akibatnya ke Indonesia tentu menurunkan penghasilan masyarakatnya yang berkecimpung di sektor komoditas. Tak sampai di situ, seperti efek domino, penghasilan turun membuat kemampuan daya beli dan konsumsi ikut menurun.
Konsumsi menurun otomatis melemahkan investasi. Banyak produsen tentu berfikir buat apa melakukan investasi di tengah permintaan yang melemah. Akhirnya mereka memilih untuk menunda investasi dan mengurangi kegiatan produksi.
Padahal komponen-komponen tersebut merupakan penunjang pertumbuhan ekonomi. Melemahnya kinerja sejumlah komponen berakibat pada melemahnya pertumbuhan ekonomi, yang di mulai sejak akhir 2012 di mana kinerja ekonomi mulai terjun dari level enam persen menjadi 5,94 persen di kuartal ketiga.
Perlambatan ekonomi nasional terus berlanjut hingga ke masa pemerintahan Jokowi-JK saat ini, dan sempat di titik terendah di bawah lima persen. Memang tak dapat dipungkiri, apa yang terjadi di global tentu imbasnya menyerang dalam negeri.
Namun Pemerintah tak ingin Indonesia ikut dalam irama perlambatan ekonomi dunia. Indonesia tak ingin terseret arus dan bergantung pada perekonomian global. Perlu upaya dari dalam untuk mendongkrak kembali kinerja ekonomi yang sempat terseret pusaran perlambatan.
Upaya pertama yang menjadi stimulus bagi ekonomi tentu datang dari strategi Pemerintah. Strategi tersebut dikeluarkan dalam bentuk paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan sejak September 2015, ketika usia Pemerintahan mau memasuki satu tahun.
"Kita enggak mau terseret oleh ekonomi dunia yang sakit dan melambat. Oleh karena itu dirumuskan kebijakan agar tak terseret," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution, 5 Oktober lalu.
Hingga saat ini 13 jilid paket kebijakan ekonomi telah dikeluarkan. Dari puluhan instrumen yang dikeluarkan dalam paket, hadirnya pusat logistik berikat (PLB) menjadi yang paling dibanggakan pemerintah. Darmin pun menyebut, instrumen PLB adalah yang paling berhasil implementasinya.
Baca: Presiden Resmikan Pusat Logistik Berikat
PLB masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid II. Beroperasinya 11 PLB tahap pertama yang diluncurkan langsung oleh Presiden Jokowi pada Maret 2016 dan tersebar di seluruh Indonesia nyatanya cukup mendukung perbaikan distribusi logistik nasional sehingga menjadi lebih efisien karena bisa menekan dwelling time dan membuat harga barang lebih murah.
Kembali lagi ke hukum ekonomi, jika harga lebih murah tentu akan berpengaruh pada kemampuan daya beli dan konsumsi. Peningkatan konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi yang mulai tumbuh dari 4,92 persen di kuartal pertama 2016 menjadi 5,18 persen di kuartal kedua. Ibarat istilah penerbangan, ekonomi mulai take off menuju tingkat yang lebih tinggi. Alhasil selama semester pertama ekonomi nasional mampu bangkit pada level 5,04 persen.
Konsumsi di kuartal dua mampu tumbuh 5,04 persen dibanding kuartal sebelumnya 4,94 persen. Peningkatan konsumsi rumah tangga juga banyak dibantu dengan dukukung pemberian gaji 13 dan 14 oleh pemerintah dan dimanfaatkan pegawai negeri sipil (PNS) pada perayaan lebaran serta persiapan dalam menghadapi tahun ajaran baru. Lalu kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Tak hanya di tataran fiskal saja, namun berpengaruh di sisi moneternya. Harga yang murah tentu membuat inflasi lebih rendah. Inflasi yang rendah menjadi rujukan Bank Indonesia (BI) untuk menyesuaikan kebijakan moneternya melalui instrumen suku bunga. Ini bisa dilihat dari penurunan suku bunga acuan BI rate pada periode Maret-Juni turut berperan meningkatkan konsumsi masyarakat. Terutama konsumsi barang-barang ritel.
Namun demikian, kendati ekonomi sudah mulai merangkak, Darmin memandang masih banyak perbaikan yang harus dilakukan pemerintah yang masih seumur jagung, yang baru masuk usia dua tahun. Karena sejatinya, kebijakan yang dikeluarkan, bukan hanya ditujukan untuk sekadar cari aman dari lingkaran penyakit global dengan memperbaiki pertumbuhan pada aspek kuantitas. Namun, jauh dari pada itu, perbaikan kualitas tentu menjadi tujuan utama demi menciptakan daya saing ekonomi yang lebih maksimal.
Berbicara daya saing, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap hal tersebut sebagai pekerjaan rumah yang serius bagi Indonesia. Dikarenakan, World Economic Forum (WEF) memangkas peringkat daya saing Indonesia tahun ini dari posisi ke-37 tahun lalu menjadi ke-41. Dirinya berjanji akan melakukan pembenahan agar daya saing Indonesia bisa meningkat lagi.
Baca: BKPM Sebut Daya Saing Indonesia Masih Tertinggal
"Itu merupakan suatu PR yang sangat serius buat kita sebagai negara, apakah itu dari sisi korupsi, apakah itu dari sisi efektivitas birokrasi,” tegas Ani, 2 Oktober lalu.
Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan daya saing akan sangat mempengaruhi investasi. Menurut dia, sejauh ini paket kebijakan baru menyasar secara administrasinya saja, namun belum cukup membuat daya saing Indonesia lebih kokoh.
Eko mengkritisi dikeluarkannya paket sebagian besar memang untuk menunjang perbaikan pada industri dalam negeri. Namun, dia bilang, pertumbuhan sektor industri masih di bawah yakni 4,6 persen.
"Kalau kami lihat output paket itu 80 persen sebetulnya terkait reindustrialisasi dan rebirokratisasi yang akan mendukung daya saing dan investasi, artinya memang belum banyak nendang," ujar dia.
Namun tentu dirinya mengapresiasi pemerintah yang dengan sergap telah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan untuk mendorong perekononomian nasional. Eko menyadari memang tak gampang mengharapkan hasil yang cepat. Akan tetapi diyakininya, efek paket akan terlihat dan terasa untuk jangka panjang dengan catatan pemerintah lebih fokus pada peket yang telah dikeluarkan dan rutin mengevaluasi kelemahannya. Sehingga jargon juru selamat dari pusaran lesunya ekonomi dunia menjadi mantap untuk disematkan.
"Kalau paketnya efektif, kalau paketnya enggak efektif ya enggak bisa jadi penyelamat ekonomi. Tapi saya optimis beberapa hal terutama yang berkaitan dengan daya saing, perizinan, infrastruktur terutama kelistrikan jangka menengah punya impact," yakin dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News