Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Plus Minus UU HPP dalam Reformasi Perpajakan

Eko Nordiansyah • 08 Oktober 2021 16:01
Jakarta: Pemerintah telah meresmikan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebagai upaya reformasi sistem perpajakan di Indonesia. Namun, kehadiran UU ini dinilai memiliki plus minus karena bisa mencapai tujuan pemerintah tadi, namun di saat yang sama bisa mengganggu pemulihan ekonomi.
 
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ada sejumlah ketentuan dalam UU HPP yang dapat mendukung reformasi perpajakan. Misalnya saja integrasi data kependudukan dengan database pajak yang akan memperluas basis pajak sehingga meningkatkan penerimaan.
 
"Kemudian pajak karbon, menutup celah penghindaran pajak lintas negara, pajak minimum sampai kepastian hukum soal sanksi pajak," kata dia kepada Medcom.id, Jumat, 8 Oktober 2021.

Meski begitu, ia menyebut, ada beberapa catatan yang membuat reformasi pajak melalui UU HPP ini tidak optimal dan cenderung kontra terhadap pemulihan ekonomi. Salah satunya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen mulai 1 April 2022.
 
"Jika barang harga nya naik maka terjadi inflasi, sementara belum tentu daya beli kelas menengah dan bawah akan langsung pulih di 2022. Akibatnya masyarakat punya dua opsi, mengurangi belanja, banyak berhemat, atau mencari alternatif barang yang lebih murah," ungkapnya.
 
Bhima menambahkan, kondisi ini akan menyulitkan bagi masyarakat menengah dan bawah karena PPN tidak memandang kelas masyarakat. Tak hanya masyarakat saja, penyesuaian tarif PPN juga akan berdampak kepada dunia usaha. Pasalnya kenaikan PPN akan mempengaruhi permintaan barang.
 
"Pengusaha sudah mulai ancang-ancang, yang tadinya ingin ekspansi jadi berpikir ulang soal kondisi permintaan barang di 2022. Apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN? Apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir?," ujar dia.
 
Oleh karena itu, ia menilai kenaikan tarif PPN akan memberikan ketidakpastian yang tinggi. Dengan inflasi yang diperkirakan bisa 4,5 persen pada 2022, ditambah kenaikan tarif pajak akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga. Padahal di negara lain justru memberikan insentif untuk pemulihan.
 
"Anehnya justru di banyak negara selama pandemi dan pemulihan ekonomi justru tarif PPN-nya diturunkan sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik. Untuk kejar rasio pajak masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi," pungkasnya
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan