Dalam laporannya, S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada level BBB karena prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat dan rekam jejak kebijakan yang berhati-hati yang tetap ditempuh otoritas.
"Pada sisi lain, S&P juga menyatakan bahwa risiko fiskal dan risiko eksternal terkait pandemi covid-19 perlu menjadi perhatian," tulis laporan S&P dilansir dari keterangan resmi Bank Indonesia (BI), Jumat, 23 April 2021.
S&P memperkirakan ekonomi Indonesia akan pulih dan tumbuh sebesar 4,5 persen pada 2021 dan 5,4 persen pada 2022. S&P menggarisbawahi bahwa laju pemulihan ekonomi Indonesia akan bergantung pada kecepatan dan efektivitas program vaksinasi.
"Kebijakan pengendalian pandemi secara global juga memengaruhi pemulihan ekonomi Indonesia terutama terkait pemulihan sektor berorientasi ekspor dan pariwisata," lanjut S&P.
Dalam jangka menengah, S&P optimistis tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di atas rata-rata negara peers. Potensi ini didorong oleh kebijakan reformasi struktural melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan untuk memperbaiki iklim usaha, penyederhanaan birokrasi, dan mendorong kinerja investasi.
Selain itu, berbagai kemudahan di bidang perpajakan serta fleksibilitas kebijakan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja dinilai dapat mendorong penciptaan lapangan kerja terutama di sektor manufaktur.
Keputusan Pemerintah untuk mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah kondisi krisis akibat pandemi merupakan bentuk terobosan untuk memperkuat ekonomi serta membuktikan komitmen pembuat kebijakan.
Di sisi lain, S&P memberikan catatan pada tantangan yang dihadapi Indonesia dari sisi penerimaan terutama untuk mengembalikan rasio defisit fiskal ke tiga persen pada 2023. S&P memproyeksikan konsolidasi fiskal akan berjalan secara gradual, defisit fiskal akan menyempit di 2021 menjadi 5,7 persen dan 4,2 persen di 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News