"Iya nanti kita lihat kalau (JPMorgan) bisa berubah, kita siap untuk kerja sama lagi," ujar Direktur Strategi dan Portofolio Utang Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Scenaider Siahaan via pesan singkat, kemarin.
Kemenkeu memutus hubungan sepihak setelah riset rilisan JPMorgan yang berjudul 'Trump Forces Tactical Changes' pada 13 November 2016 yang merevisi peringkat negara-negara berkembang untuk para investor JPMorgan.
Baca: Sri Mulyani Marah
Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono bisa mengerti kegusaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang memutuskan kemitraan dengan JPMorgan.
Hasil riset tersebut dinilai tidak fair.
"Kalau saya bandingkan dengan Brasil, misalnya, pernilaian JPMorgan terhadap kita kurang fair. Kita turun dua setrip, Brasil turun satu setrip. Padahal, Brasil menghadapi masalah fiskal yang gawat, diduga defisit APBN mereka mencapai 10 persen terhadap PDB (produk domestik bruto), dari batas aman maksimal tiga persen. Presiden Rousseff bahkan terpaksa lengser karena kondisi ekonomi yang memburuk," kata dia kepada Media Indonesia.
Sementara itu, Indonesia, lanjut Tony, juga mengalami tekanan fiskal saat penerimaan pajak mengalami shortfall, tetapi defisit APBN terjaga di 2,7 persen terhadap PDB.
Hal itu memperlihatkan disiplin fiskal Indonesia bagus.
"Harus kita akui ada masalah dengan demo yang lalu (kasus Ahok), tetapi itu bisa dilalui dengan baik," ulas Tony.
Sebaliknya, pihak JPMorgan menyatakan operasi mereka di Indonesia tetap berjalan normal.
"Our business in Indonesia continues to operate as usual," ujar Head of Communications, Southeast Asia JP Morgan Li Anne Wong, dalam surat elektroniknya kepada Media Indonesia, Selasa, 3 Januari. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News