"Saya kira pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan," ujar Said Abdullah, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 28 Juni 2021.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2020, khususnya yang menyangkut utang pemerintah menyebutkan adanya kerentanan terhadap rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan.
Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional. Namun, ujar Said, Menteri Keuangan (Menkeu) telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Beleid ini yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah. Karena itu, kata Said, posisi utang Indonesia ini tidak perlu direspons dengan panik. Said justru menilai pernyataan BPK soal utang ini baik
Akan tetapi, lanjutnya, kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antarlembaga di saat bangsa dan negara menghadapi krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi. Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.
"Pernyataan BPK ini baik walau kurang bijak," tegasnya.
Dirinya berharap antarlembaga dan kementerian hendaknya tidak saling 'menyerang' dimuka umum. Sebab yang dibutuhkan dalam menanggulangi covid-19 dan dampak sosial ekonominya yaitu semangat gotong royong. Apalagi BPK adalah lembaga negara.
Dengan demikian, sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat oleh UUD 1945 dan UU Nomor 6 tahun 2006 maka segala tugas dan fungsi serta tindakannya harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan produk turunannya.
"Bila ada pertimbangan lain di luar UU maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan," terangnya.
Dirinya menambahkan profil utang pemerintah dengan mengacu data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu menunjukkan risiko valas yang menunjukkan tren penurunan. Dari total utang pemerintah pada 2019 sebesar Rp4.778 triliun maka sebesar Rp1.808,9 triliun (37,8 persen) dalam bentuk valas.
Pada 2020 porsi valas naik ke level Rp2.037 triliun (33,5 persen) dari total utang Rp6.074,6 triliun. Kondisi ini, klaim Said, masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 yang menetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41 persen.
Demikian juga, masih kata Said, Rata-Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah menunjukkan tren penurunan. Setidaknya pada rentang 2016-2020 ATM menunjukkan angka di bawah sembilan tahun. Posisi ini menunjukkan indikator manajemen utang terkelola dengan baik.
ATM utang pemerintah pada 2016 diangka 9.1, lalu 2017 diangka 8,7 tahun, kemudian 2018 diangka 8,4 tahun, lalu 2019 diangka 8,5 tahun, dan di 2020 diangka 8,8 tahun. Data ini menjelaskan manajemen penerbitan, penjualan, dan jatuh tempo utang pemerintah dijalankan dengan tata kelola yang baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News