"Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada 2019 menyebutkan potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh Badan akibat diskon rokok mencapai Rp1,73 triliun. Tahun ini potensi kehilangan pendapatan itu bertambah menjadi Rp2,6 triliun," ujar Emerson dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Jumat, 26 Juni 2020.
Aturan diskon rokok mengizinkan pabrikan mematok harga rokok di bawah 85 persen dari Harga Jual Eceran (HJE) minimum. Asalkan dilakukan tidak lebih di 50 persen kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai (atau 40 kantor area). Di sisi lain, pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85 persen HJE pun memunculkan sejumlah persoalan di lapangan.
"Terdapat indikasi merek rokok yang tidak sesuai dengan batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur," tuturnya.
Emerson menyarankan agar klausul pengecualian 50 persen kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai dikaji kembali karena menimbulkan persaingan tidak sehat. Emerson juga mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan Perdirjen 37/2017 karena kontradiktif terhadap aturan di atasnya.
"Catatannya adalah produsen masih boleh menjual rokok di bawah 85 persen selama dilakukan di 50 persen wilayah pengawasan Bea Cukai. Mengapa harus diberikan kelonggaran 50 persen dari wilayah pengawasan Bea Cukai?" tanyanya.
Emerson menambahkan saat ini belum ditemukan naskah akademik terkait peraturan dan penjelasan mengenai dasar 50 persen cakupan pengawasan atau 40 kantor wilayah DJBC ini. Belum lagi, klausul ini hanya menguntungkan perusahaan besar.
"Buktinya, sejumlah merek rokok keluaran perusahaan besar diketahui menjual produksinya per bungkus di bawah 85 persen HJE," urainya.
Sebelumnya, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto menegaskan pabrikan wajib menjual rokok dengan harga transaksi pasar (HTP) atau harga akhir konsumen minimal 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau harga banderol yang tercantum pada pita cukai. Hal ini bertujuan melindungi pabrikan kecil dari praktik predatory pricing (jual rugi).
Namun teguran terhadap pedagang yang melanggar ketetapan floor price 85 persen ini hanya berlaku jika ditemukan penjualannya di lebih 40 kantor wilayah Bea Cukai yang melakukan pengawasan. "Ada yang menjual di ritel di bawah 85 persen HJE dan ditemukan lebih dari 40 kantor maka kami tegur," ucap Nirwala.
Nirwala tak menjelaskan lebih lanjut mengapa Bea Cukai memberikan kelonggaran hingga 40 kantor area sebelum memberikan teguran kepada pabrikan yang menjual rokok di bawah 85 persen HJE. Pengecualian cakupan pengawasan bea cukai inilah yang kemudian dipersoalkan karena tidak memiliki landasan yang jelas dan dinilai memperlebar praktek diskon rokok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News