Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengatakan, selama ini pembicaraan terkait cukai rokok hanya berhenti pada kenaikannya saja, tanpa melihat struktur cukainya sendiri. Padahal, kebijakan struktur tarif cukai tembakau di Indonesia saat ini dinilai tidaklah sederhana karena kompleks dan rumit.
"Struktur tarif cukai tembakau yang saat ini terdiri dari 10 layer membolehkan perusahaan rokok berada pada golongan cukai rendah sehingga dapat menjual harga rokok dengan murah kepada konsumen," kata dia dalam webinar di Jakarta, Rabu, 6 Oktober 2021.
Pemerintah sesungguhnya pernah membuat peta jalan (roadmap) penyederhanaan struktur cukai melalui penerbitan PMK Nomor 146 Tahun 2017. Berdasarkan aturan tersebut struktur tarif tembakau akan lebih sederhana, yaitu menjadi delapan layer pada 2019, enam layer pada 2020, dan lima layer pada 2021.
"Namun baru setahun berjalan, kebijakan roadmap tersebut dibatalkan melalui PMK Nomor 156 tahun 2018. Dalam aturan tersebut pemerintah tidak menaikkan cukai pada tahun 2019 dan kembali menggunakan struktur tarif cukai rokok lama yang terdiri 10 layer," ungkapnya.
Hingga akhir September 2021 ini belum ada sikap resmi pemerintah apakah penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau akan diterapkan pada tahun 2022 mendatang. Padahal, penyederhanaan struktur cukai menjadi salah satu mandat yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
"Alasan pemerintah melalui Kementerian Keuangan membatalkan atau menunda roadmap penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau tidak memiliki bukti dan argumen yang kuat. Sebaliknya, sejumlah kajian menunjukkan kebijakan roadmap penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau perlu dilanjutkan kembali oleh pemerintah," jelas dia.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Keuangan untuk melanjutkan simplifikasi struktur tarif cukai tembakau pada 2022. Upaya ini bisa dilakukan dengan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang akan berlaku pada tahun depan.
Setidaknya, ada tiga alasan mengapa pemerintah perlu melanjutkan kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau. Pertama, penyederhanaan struktur tarif akan berdampak pada penurunan konsumsi rokok anak dan pencapaian target RPJMN 2020-2024 untuk prevalensi merokok anak yaitu sebesar 8,7 persen pada 2024.
"Hal ini diperkuat dengan kajian yang dibuat Kementerian PPN/Bappenas pada 2020 yang menegaskan bahwa kenaikan dan simplifikasi tarif cukai hasil tembakau dinilai mampu menurunkan prevalensi merokok anak, sekaligus meningkatkan penerimaan cukai. Simplifikasi struktur tarif berdampak pada turunnya konsumsi rokok sehingga target prevalensi merokok anak dapat dicapai," ujarnya.
Kedua, kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau merupakan perintah dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Dalam RPJMN 2020-2024, kebijakan cukai melalui penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau merupakan bagian dari optimalisasi perpajakan dan menjaga kesinambungan fiskal khususnya dalam menggali potensi penerimaan negara.
"Ketiga, penyederhanaan struktur cukai tembakau akan menambah potensi penerimaan negara dengan jumlah antara Rp137 triliun sampai Rp440 triliun. Beberapa studi menunjukkan potensi penambahan penerimaan negara yang dapat diterima jika dilakukan penyederhanaan cukai tembakau," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News