Saat ini, Indonesia sudah memasuki fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal Tanah Air. Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter.
Bahkan, sekitar 60 persen saham asing yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40 persen dikuasai oleh asing. Demikian disampaikan Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Imansyah, di Gedung A Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (27/2/2015).
Angka tersebut sudah seharusnya diwaspadai oleh pemerintah, mengingat Fed Rate tetap diprediksi akan naik dan bisa berdampak pada 'berpindahnya' investor asing ke Negeri Paman Sam tersebut. Imansyah menganjurkan pemerintah agar meningkatkan investasi di sektor infrastruktur ketimbang sektor keuangan yang rawan terhadap krisis.
"Capital inflow naik, tapi investasi infrastrukturnya tidak berubah. Kan seharusnya untuk infrastruktur. Artinya, investasi lebih dominan di pasar uang. Itu yang harus ekstra hati-hati. Kan faktor krisis bisa lewat eksternal, ya lewat Amerika itu," ujar Imansyah.
Sayangnya, tidak banyak perbankan yang mau memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur lantaran risikonya terlalu besar. Padahal, sudah semestinya swasta dan perbankan mendukung investasi di sektor infrastruktur karena margin keuntungan di bidang tersebut berprospek jangka panjang.
"Memang sektor infrastruktur bagi perbankan bisa dibilang sektor yang risikonya tinggi karena pengembaliannya jangka panjang sekali. Padahal, umumnya tingkat pengembalian di bank lima tahun, sedangkan di sektor infrastruktur lima tahun mungkin tidak cukup. Risiko 10-15 tahun itu sulit diprediksi," jelasnya.
Namun, ia masih sulit untuk memprediksi krisis keuangan yang kemungkinan terjadi di Indonesia. "Susah diprediksi," cetusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News