Hal tersebut seperti dikatakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Misbakhun. "Panama Papers ini menjadi bukti bagi kita bahwa tidak ada seorang pun yang rela bayar pajak dengan sebuah kesadaran jika pajak itu tarifnya tinggi," kata Misbakhun, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (6/4/2016).
Menurut dia, nama-nama yang terdaftar dalam dokumen tersebut berusaha menghindari kewajiban perpajakan yang menerapkan tarif tinggi. Mereka mencari daerah yang tarif pajaknya rendah. Apalagi, mencari negara bertarif pajak rendah merupakan hal yang legal dan diperbolehkan.
"Jadi, menghindari perpajakan dengan tarif yang tinggi, kemudian mereka cari tarif yang rendah itu dibolehkan, dan penghindaran itu hanya mengena dari sisi etis," ujar dia.
Menurut mantan pegawai Ditjen Pajak itu, penghindaran tersebut berbeda dengan pengelapan. Namun, jika dari dokumen tersebut terbukti ada penggelapan maka petugas pajak bisa melakukan proses pemeriksaan. Artinya, data dari dokumen dimaksud bisa menjadi bahan pemeriksaan dan penyidikan serta mengenakan sanksi.
"Karena prinsip perpajakan kita itu adalah bukan memidanakan orang, tapi membayar. Dan kalau ada sisi penggelapan, itu dendanya harus dibayar dengan jumla sangat besar," tutup dia.
Sebagai informasi, bocornya dokumen firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca membuat geger dunia saat ini atau dikenal dengan nama Panama Papers. Didalamnya terdapat dokumen berisi data perusahaan-perusahaan bayangan (offshore) yang digunakan untuk menyembunyikan uang dan menghindari pajak.
Dokumen itu menggegerkan dunia karena menyangkut praktik-praktik kejahatan finansial yang diduga turut dilakukan oleh beberapa pemimpin dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News