Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan skema PPnBM dikenakan tidak lagi berdasarkan kapasitas mesin saja. Tetapi pemerintah akan mempertimbangkan konsumsi bahan bakar dan tingkat emisi karbon (CO2) sebagai perhitungan daripada tarif PPnBM yang akan dikenakan.
"Setelah dilakukan analisa, apabila kita melakukan skema kebijakan yang baru maka penerimaan negara dari pajak PPnBM lebih tinggi dari peraturan lama," kata Sri Mulyani di Komisi XI, DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 11 Maret 2019.
Berdasarkan data penjualan pada 2016 dan 2017, penerimaan PPnBM akan mengalami kenaikan cukup signifikan. Jika sebelumnya penerimaan PPnBM sebesar Rp18,4 triliun di 2016 dan Rp15,73 triliun di 2017, maka akan menjadi Rp 24,95 triliun dan Rp 23,16 triliun.
Dari proyeksi penjualan pada 2019 sebanyak 1,19 juta unit, Kemenkeu menghitung penerimaan PPnBM akan mencapai Rp19,1 triliun. Penjualan diprediksi meningkat jadi 1,25 juta unit, dengan penerimaan Rp20,2 triliun pada 2020.
Sedangkan dengan penerapan skema PPnBM baru yang dimulai pada 2021, maka penjualan diperkirakan 1,33 juta unit dan penerimaan Rp29,5 triliun. Sementara proyeksi untuk 2022, penjualan ditargetkan sebanyak 1,41 juta unit, dengan penerimaan PPnBM mencapai Rp32,3 triliun.
"Kalau pakai skema baru penerimaan lebih besar. Hanya kita belum hitung demand-nya, termasuk kalau terjadi shifting daripada konsumsi dari masyarakat," jelas Sri Mulyani.
Penentuan tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/PMK.010/2017. Tarif PPnBM dikenakan bervariasi mulai dari 10 persen sampai dengan 125 persen disesuaikan dengan klasifikasi kendaraan bermotornya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News