Sejumlah negara Asia sudah 'berteriak' agar Inggris tetap menjadi anggota UE, termasuk Tiongkok dan India. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Perdagangan Indonesia relatif kecil dengan Inggris. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasi Juni, tampak bahwa Uni Eropa hanya menduduki 11,33 persen dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia yang mencapai USD10,5 miliar. AS dan Jepang masih menjadi sasaran ekspor nonmigas indonesia dengan porsi 12,19 persen dan 10,11 persen.
Tampak bahwa Uni Eropa tak begitu banyak memengaruhi perdagangan Indonesia. Kondisi ini juga bisa berlangsung positif ketika ada pengaruh ke nilai tukar Uni Eropa yang diprediksi akan alami kenaikan terhadap mata uang emerging market.
Seperti yang dikatakan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo bahwa ada penguatan terhadap nilai tukar euro dan pelemahan poundsterling yang berasal dari fenomena Brexit.

jelang voting brexit
"Ada dua dampak langsungnya, tentu saja berdampak pada pelemahan poundsterling dan penguatan euro, itu dari satu sisi," jelasnya beberapa waktu lalu.
Penguatan euro akan membuat harga barang Indonesia ke pasar Uni Eropa menjadi semakin kompetitif dengan produk dari negara lainnya. Indonesia juga sudah memiliki kerja sama regional yang kuat dengan Uni Eropa ataupun dalam kerja sama bilateral dengan Inggris. Persoalan selanjutnya adalah kesiapan mengatasi perdagangan dengan negara non Uni Eropa.
Indonesia harus menjaga aktivitas perdagangan dengan negara mitra dagang terbesar seperti Tiongkok, India, dan AS. Hal ini menjadi perhatian jika perekonomian India, AS dan tiongkok mengalami guncangan akibat Brexit.
AS dan Tiongkok memiliki tingkat perdagangan yang tinggi dengan Inggris. AS memiliki porsi 9,5 persen, diikuti Tiongkok dengan mencapai 7,3 persen terhadap perdagangan dengan Inggris.
Selain persoalan perdagangan, banyak investor asal Asia seperti miliuner asal Hong Kong, Li Ka-shing, yang mempertimbangkan untuk menarik investasinya dari Inggris jika terjadi Brexit karena mereka ingin meraih kemudahan akses pasar dalam kerangka kerja sama regional.
Ketidakpastian ini semakin menjadi-jadi karena CEO of the Singapore Business Federation (SBF) Mr Ho Meng Kit mengatakan Brexit dapat mengganggu stabilitas Eropa pada saat perekonomian semakin tak menentu.
Salah satu implikasinya adalah akan adanya kemungkinan penundaan dari ratifikasi Uni Eropa dengan Singapura dalam kerangka pernjanjian kerja sama. Masalahnya semakin jelas ke Indonesia, karena Singapura merupakan negara dengan investasi terbesar di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News