"Jadi kita harus melihat dengan mewaspadai apa yang terjadi di dalam perekonomian Tiongkok dengan adanya fenomena gagal bayar dari perusahaan Evergrande ini," kata dia dalam video conference, Kamis, 23 September 2021.
Pengembang terbesar kedua di Tiongkok ini dibebani kewajiban lebih dari USD300 miliar atau setara dua persen dari PDB Tiongkok, berupaya untuk terus mengumpulkan dana guna membayar kewajibannya kepada para pemberi pinjaman dan pemasoknya.
Hal itu dilakukan saat Evergrande berupaya menyelesaikan krisis likuiditas yang bisa membawa ke dalam fase keruntuhan. Adapun para investor kini terus memantau perkembangan Evergrande karena krisis yang menerpa bisa memberi efek domino terhadap industri jasa keuangan.
Menurut Sri Mulyani, isu risiko stabilitas sektor keuangan terutama di Tiongkok itu terus menjadi perhatian pada minggu-minggu ini. Apalagi gagal bayar ini terjadi pada satu perusahaan konstruksi real estat yang sangat besar yaitu Evergrande.
"Total utangnya mencapai USD305 miliar dan mereka akan mengalami situasi tidak mudah dan memiliki dampak yang luar biasa besar baik pada perekonomian domestik di Tiongkok maupun di dunia," ungkapnya.
Selain krisis Evergrande, ia menyebut, berbagai downside risk terhadap pemulihan ekonomi global masih belum akan selesai. Meskipun banyak pihak memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia bisa tumbuh positif pada tahun ini.
"Di sisi downside risk-nya sebetulnya ini belum balik. Varian delta masih harus kita perhatikan, mutasi virusnya juga masih akan terjadi. Dan pemulihan ekonomi yang tidak merata, inflasi di berbagai negara menimbulkan komplikasi," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News