Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan titik keseimbangan baru ini tidak memungkinkan nilai rupiah kembali pada kisaran Rp10 ribu per USD. Merujuk Reuters, rupiah pernah berada di kisaran Rp8.000an-Rp10 ribuan pada 2012 sampai pertengahan 2013.
Sebab dahulu, waktu rupiah menguat di Rp10 ribu, kondisi likuditas dunia beda, suku bunga dunia berbeda, dan kebutuhan Indonesia terhadap likuiditas dalam negeri juga berbeda, dalam pengertian pada waktu itu suku bunga murah di dunia.
Itu sebabnya dahulu Indonesia menurunkan suku bunga saat masa quantitative easing. Indonesia dia lihat berhasil melakukan ini karena sukses menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan, terutama inflasi.
Namun sekarang kondisinya berubah, terutama karena AS, Eropa, sudah mulai menghentikan quantitative easing mereka dan mengakhiri rezim suku bunga rendah. Ini artinya bila dahulu negara-negara tersebut menyebarkan likuiditas banyak ke pasar keuangan global, perlahan mereka tarik kembali.
Dampaknya suku bunga akan naik, dimulai oleh Bank Sentral AS (The Fed). Kalau kondisi ini berjalan artinya keseimbangan berubah lagi. Oleh karena itu ketika pengetatan terjadi, suku bunga Indonesia harus naik mengikuti The Fed.
Nilai tukar Indonesia terpaksa melemah karena uang yang tadi masuk ke Indonesia, kembali lagi ke negara lain. Akibatnya likuiditas berkurang sementara kebutuhan likuiditas Indonesia masih tinggi karena pembangunan infrastruktur butuh banyak dana.
"Saya rasa otoritas moneter berusaha mengimbangi agar penarikan dana keluar negeri tidak menganggu stabilitas ekonomi Indonesia. itu yang diusahakan Bank Indonesia," ujar Halim pada acara LPS Research Fair 2018, di Jakarta, Selasa, 25 September 2018.
LPS juga memantau apakah ada pergerakan dana pihak ketiga dari perbankan dalam negeri ke luar negeri (capital outflow) atau dana-dana nasabah tersebut hanya berpindah ke bank domestik yang menawarkan suku bunga deposito lebih tinggi.
"Sejauh ini berdasarkan pantauan kami, tidak ada pergerakan DPK yang luar biasa. Hal ini biasa saja kalau ada nasabah pindah dari satu bank ke bank lain, memanfaatkan suku bunga yang lebih tinggi," tukas Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News