"Krisis 1998 bermula dari currency crisis yang menjalar menjadi krisis perbankan yang memandulkan fungsi intermediasi keuangan," jelas Budi Hikmat, di Jakarta, Rabu, 5 September 2018.
Dia menjelaskan krisis nilai tukar, termasuk rupiah, pada 1998 sebagai akibat posisi rupiah yang sebelumnya overvalued dengan sistem nilai tukar tetap, tidak ada tata kelola utang negara khususnya luar negeri, pengawasan perbankan yang lemah serta kurangnya mobilisasi pembiayaan bisnis dalam negeri non-perbankan.
Dia mengatakan bahwa bukti rupiah overvalued saat itu adalah kegandrungan untuk impor dan plesiran ke luar negeri disaat rupiah belum melemah. Kekeliruan tata kelola itu diperkuat dengan adanya faktor eksternal saat itu berupa trend penguatan dolar.
"Kondisi saat ini berbeda. Terpenting bank lebih diawasi selain cukup modal. Jadi selama gejolak nilai tukar tidak merembet menjadi krisis perbankan, situasi memang menantang tapi mestinya dapat diatasi," tegas dia.
Pada masa dulu loan to deposit ratio perbankan mencapai 110 persen. Sedangkan pada saat sekarang LDR perbankan mencapai 92,76 persen atau dengan kata lain perbankan masih memenuhi ekspansi dengan deposito bukan dengan utang.
Namun dia mengatakan bahwa ketika rupiah melemah kondisi jadi kacau. Beban utang naik, nilai asset turun. Berbahaya jika kecerobohan ini banyak dilakukan perbankan. "Krisis perbankan terjadi ketika bank harus makan modal yang harus ditombok dengan kebijakan rekapitalisasi perbankan," jelas dia.
Melemahnya rupiah pada 1998 juga berbeda dengan kondisi sekarang. Pada saat itu rupiah melemah dari Rp2.000 ke Rp5.000 per USD atau naik dua kali lipat. Kondisinya berbeda dengan kondisi saat ini ketika rupiah melemah dari level Rp13.000 per USD ke level Rp14.800 per USD.
Daya Saing dan Pariwisata
Dia menegaskan bahwa mata uang rupiah itu goyah karena produktivitas dan daya saing yang jelek karena banyak impor serta minimnya pendapatan dari sektor yang menyumbang banyak terhadap devisa seperti dari sektor pariwisata.
"Ayo kita kurangi kegandrungan barang impor. Ramah terhadap wisatawan biar mereka royal tabur dollar di sini. Biayai masa depan bukan dengan hutang tetapi dengan hasil investasi," jelas dia.
Selain itu dia juga menyoroti rendahnya penerimaan pajak ketimbang penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak hingga per 31 Agustus 2018 mencapai Rp799,47 triliun sedangkan penerimaan negara hingga Juli 2018 sudah mencapai Rp994 triliun.
Kemudian minimnya investor lokal yang berinvetasi di surat utang negara juga menimbulkan tekanan dari asing cukup kencang saat mata uang rupiah melemah. "Yang terparah adalah bila tidak melihat surat utang negara sebagai sarana investasi yang paling aman, cuan, dan likuid. Ayo imbangi investor asing yang rame beli SUN dengan mulai ikutan investasi," pungkas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News