"Meskipun sedikit menurun dibandingkan dengan belanja perpajakan tahun 2019, perlu diketahui bahwa kebijakan insentif yang diberikan oleh pemerintah pada masa pandemi di 2020 semakin beragam di luar yang telah diberikan oleh pemerintah di tahun sebelumnya," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Sabtu, 25 Desember 2021.
Beberapa insentif yang diberikan antara lain PPh DTP Pasal 21, pembebasan PPh 22 impor, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Di samping itu, pemerintah juga memberikan penurunan tarif PPh badan dari sebelumnya 25 persen menjadi 22 persen sejak tahun pajak 2020, yang dikategorikan sebagai perubahan benchmark belanja perpajakan bagi jenis Pajak Penghasilan.
Dengan demikian, ia menyebut penurunan estimasi belanja perpajakan 2020 bukan disebabkan oleh berkurangnya dukungan pemerintah namun lebih disebabkan oleh menurunnya konsumsi serta profitabilitas perusahaan akibat pandemi covid-19, sehingga menurunkan basis pemajakan dan menyebabkan rendahnya pemanfaatan fasilitas perpajakan.
"Walaupun begitu, terdapat peningkatan dukungan fasilitas perpajakan untuk jenis pajak Bea Masuk yang utamanya ditujukan untuk mendukung ketersediaan alat kesehatan dalam rangka penanganan pandemi covid-19," ungkapnya.
Febrio menambahkan belanja perpajakan konsisten berpihak pada dunia usaha khususnya UMKM dan rumah tangga. Di 2020, rumah tangga menikmati belanja perpajakan sekitar 40,8 persen dari keseluruhan belanja perpajakan, sedangkan dunia usaha menikmati sekitar 59,2 persen, yang mana sebesar 25,5 persen merupakan fasilitas yang khusus ditujukan untuk UMKM.
Bila dilihat berdasarkan detail kebijakan insentif perpajakan, fasilitas yang nilainya cukup besar antara lain PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omzet sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun (threshold PPN) sebesar Rp40,6 triliun, PPN tidak dikenakan atas barang kebutuhan pokok sebesar Rp27,7 triliun, pengecualian penghasilan tertentu BPJS sebagai objek PPh sebesar Rp22,2 triliun, penyederhanaan penghitungan PPh atas penghasilan usaha dengan peredaran tertentu (PPh Final UMKM) sebesar Rp16,2 triliun, dan PPN tidak dikenakan atas jasa pendidikan sebesar Rp15,1 triliun.
Belanja perpajakan melengkapi alokasi belanja negara di APBN 2020 untuk mengatasi dampak pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut tercermin dalam berbagai kluster stimulus yang termuat dalam Program PEN 2020, dengan realisasi anggaran kesehatan sebesar Rp62,7 triliu, perlindungan sosial sebesar Rp216,6 triliun, dukungan terhadap UMKM sebesar Rp112,3 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp60,7 triliun, insentif usaha sebesar Rp58,4 triliun, serta program prioritas Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda sebesar Rp65,2 triliun.
Bila turut mempertimbangkan semua insentif perpajakan yang masuk dalam program penanganan kesehatan serta pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat covid-19, maka besarnya dukungan insentif perpajakan yang diberikan pemerintah paling tidak mencapai Rp290,0 triliun atau setara dengan 1,88 persen PDB pada 2020.
Secara total, belanja APBN 2020 bertumbuh 12,4 persen dari Rp 2.309,3 pada 2019 menjadi Rp2.595,5 triliun pada 2020 di tengah penerimaan APBN yang turun. Konsekuensi dari hal tersebut membuat realisasi defisit pada 2020 mencapai 6,14 persen PDB yang menunjukkan kerja keras APBN dalam menopang perekonomian selama pandemi.
"Berbagai kebijakan perpajakan dalam rangka mengatasi dampak pandemi dan pemulihan ekonomi nasional terutama diberikan untuk mempermudah dan memperlancar ketersediaan alat kesehatan, seperti alat pelindung diri, masker dan hand sanitizer, menjaga daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan, dan membantu cash flow dunia usaha dalam mengatasi dampak pandemi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News