Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro)
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro)

Laporan EITI Meluncur Demi Cegah Kerugian Negara di Sektor Migas-Minerba

Suci Sedya Utami • 24 Mei 2017 11:56
medcom.id, Jakarta: Pemerintah meluncurkan laporan tahunan inisiatif transparansi dalam industri ekstraktif (EITI) sebagai upaya menegakkan prinsip transparansi pada sektor migas dan minerba.
 
Peluncuran laporan keempat (tahun pelaporan 2014) atas penerimaan negara dari kedua sektor penopang ekonomi nasional ini dilakukan di Ruang Graha Sawala, Kompleks Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu 24 Mei 2017.
 
Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo dalam sambutannya mengatakan, dengan penerbitan laporan EITI diharapkan dapat mendukung transparasi penerimaan negara yang dibayarkan oleh perusahaan sehingga mencegah terjadinya ketidaksinkronan pajak.

Baca: Permen Baru Demi Optimalisasi Penerimaan Negara dari Hulu Migas
 
"Selain itu, laporan ini juga mendorong diskusi tentang perbaikan kebijakan dan meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan,” kata Lukita.
 
Pelaporan ini sejalan dengan cita-cita pasal 33 UUD 1945 pasal dua yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan transparansi berstandar internasional, EITI membantu mewujudkan cita-cita tersebut.
 
Indonesia, yang telah menerbitkan empat laporan sejauh ini (2009-2014), adalah negara dengan status compliance (patuh) sejak 2014, dan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memperoleh status tersebut. Standar internasional EITI telah diterapkan di 51 negara yang kaya akan sumber daya migas dan minerba di seluruh dunia.
 
Laporan tahunan EITI berisi informasi rekonsiliasi dan kontekstual atas pembayaran perusahaan dan penerimaan negara dari kedua sektor migas dan minerba. Satu terobosan baru dari laporan kali ini adalah komitmen Indonesia untuk mengungkapkan identitas kepemilikan/pengendali sesungguhnya dari perusahaan, atau beneficial ownership (BO).
 
Baca: Karena Mafia Migas, Indonesia Rugi Rp50 Triliun
 
Pemerintah Indonesia telah menjabarkan peta jalan berisi langkah-langkah apa yang akan diambil Pemerintah mulai 2017 ini hingga tenggat 2020 nanti. Identitas yang harus dipublikasi adalah nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan ekstraktif.
 
Pembukaan informasi BO ini menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya nama 1.038 wajib pajak asal Indonesia dalam kasus Panama Papers.
 
"Kami berharap transparansi Beneficial Ownership ini dapat dilakukan sehingga dapat  mencegah hilangnya potensi pendapatan negara, praktik pencucian uang, dan monopoli terselubung," ujar Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kemenko Bidang Perekonomian, Monty Girianna.
 
Dalam upaya pencegahan hilangnya pendapatan negara, EITI Indonesia turut berperan dalam pelaksanaan Instruksi Presiden No.10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK).
 
Data dari laporan EITI dapat digunakan untuk perbaikan tata kelola pajak dan penerimaan negara. Pelaksanaan aksi PPK dipantau oleh Kantor Staf Presiden (KSP) yang dengan kewenangan khususnya dapat mengevaluasi capaian Kementerian/Lembaga pelaksana Aksi PPK.
 
Tim Transparansi juga meluncurkan portal data industri ekstraktif untuk mempermudah akses dan pemahaman publik terhadap laporan EITI. Portal data ini berisi informasi kontekstual, penerimaan negara, serta alur kerja industri ekstraktif dalam kontribusinya kepada negara.
 
"Portal data ini berdasarkan provinsi, perusahaan, tahun penerimaan negara dan data ekonomi mikro dan makrosekaligus melakukan analisis data untuk berbagai kepentingan," tambah Asisten Deputi Industri Ekstraktif, Ahmad Bastian Halim.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan