Prediksi PLN dan Menteri ESDM, pada 2019 upaya ini hanya bisa mencapai 22.000 MW, bahkan bisa kurang. Namun, Presiden Joko Widodo tetap mendorong agar target 35.000 MW tercapai.
"Presiden dan Wakil Presiden tetap memutuskan itu menjadi target,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung kepada wartawan usai sidang paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) dan rapat terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun meminta kepada Menteri ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) untuk membuat cetak biru pembangunan pembangkit listrik yang tidak bergantung pada energi fosil. Dengan kata lain memanfaatan energi-energi baru terbarukan (EBT), seperti udara, arus laut, biodiesel, dan sebagainya.
Baca: Negeri Kaya Sumber Daya yang Miskin Energi
“Karena Indonesia sudah meratifikasi COP Paris dan kemudian kemarin Maroko kita juga sudah melakukan. Apa yang sudah menjadi kesepakatan atau keputusan hal yang berkaitan dengan energi baru terbarukan, kita akan mengikuti itu,” kata pria yang akrab disapa Pram itu.
Pada tahun ini, kata Pram, walaupun diestimasi baru bisa 7%, tapi target yang ditetapkan adalah 11%. “Pada 2025 targetnya 23%.”
Pengamat energi yang juga Wakil Ketua Komtap Bidang Energi Baru Terbarukan dan Lingkungan Hidup (EBTLH) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Bob Soelaiman Effendi, meragukannya.
Selain biayanya mahal, kata Bob, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga sudah menganalisanya. “Dalam BPPT outlook 2016 digambarkan, EBT sulit memenuhi target kontribusi penyediaan energi nasional,” ucapnya saat berbincang dengan metrotvnews.com di kawasan Pejaten, Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Kejar target
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis produktivitas, industri yang kuat harus dimunculkan. Apalagi, 15 tahun terakhir Indonesia mengalami kemerosotan di arena manufaktur (industri non-migas). Kontribusinya terhadap PDB anjlok, dari 29,0% pada 2001 menjadi 20,7% pada 2016.
Artinya, kini pemerintah memiliki dua target utama terkait energi dan industri. Pada 2025, pembangunan kapasitas listrik terpasang harus 138.000 MW. Pada sisi lain, demi mengerek pertumbuhan, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) menetapkan, kontribusi manufaktur terhadap PDB harus 23,26% pada tahun yang sama.
Berdasarkan teori umum hubungan linear antara konsumsi listrik dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita (Roger Andre & Robert Ayers), setiap 1 Kwh daya listrik yang tertambah bisa meningkatkan PDB sebesar USD4-USD5.
Logika sederhananya, tanpa listrik, tidak ada industri. Jadi, listrik merupakan salah satu komponen penting pertumbuhan industri. Sementara, pertumbuhan industri sendiri berpengaruh positif pada PDB per kapita.
Hal ini sejalan dengan statistik ketenagalistrikan Indonesia (DJK 2015), Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (Kementerian ESDM 2015) dan statistik PLN pada 2015. Tercatat, rata-rata pertumbuhan PDB per 1 Kwh konsumsi listrik selama 10 tahun terakhir adalah USD3,9, dengan daya mampu jaringan kelistrikan 62%.
Artinya, setiap penambahan 1.000 MW (dengan daya mampu 90%) dapat memberikan kontribusi maksimal USD32 miliar pada PDB.
Bila target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah 138.000 MW di 2025, maka Indonesia perlu membangun tambahan kapasitas sebesar 83.000 MW (terhitung 2015). Jika dikalikan USD32 miliar, kemudian dibagi perkiraan populasi Indonesia pada 2025, yakni 285 juta jiwa, maka penambahan PDB per kapita Indonesia sebesar USD9.319. Bila ditambah dengan PDB saat ini, USD3.400, maka total PDB per kapita menjadi USD12.719.
Dengan begitu PDB Indonesia sudah di atas Malaysia. Angka ini pun sudah mengeluarkan Indonesia dari ancaman negara gagal (jebakan middle income).
Baca: Jebakan Middle Income dan Kesadaran Energi
Oleh sebab itu, sangat penting bagi Indonesia untuk mencapai target pembangunan kapasitas listrik 40.000 MW setiap 5 tahun. Atau, dalam target minimal Jokowi, 35.000 MW hingga akhir masa jabatannya, 2019.
Bila target kapasitas listrik terpasang tidak dapat tercapai pada 2025, tentunya target RIPIN yang 23,25% juga tidak mungkin tercapai.
Karenanya, target ini harus dicapai secara estafet antar pemerintahan yang berkuasa. “Bila tidak, manufaktur akan terus merosot, pengangguran bertambah, PDB per kapita terus menurun. Ancaman negara gagal pun menjadi nyata,” ujar Bob.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News