Dalam waktu singkat setelah dilantik menjadi Menteri Keuangan, untuk kedua kali, menggantikan Bambang Brodjonegoro yang dimutasi menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas, Ani panggilan akrabnya, langsung tancap gas rapat secara maraton bersama para eselon I Kementerian Keuangan.
Ternyata, dari rapat-rapat tersebut diketahui adanya perkiraan kekurangan penerimaan pajak atau yang disebut shortfall sebesar Rp219 triliun hingga akhir tahun. Padahal, dalam pembahasan APBNP dengan DPR, pemerintah sudah menghitung adanya shorfall dan memutuskan untuk memangkas anggaran belanja sebesar Rp50 triliun.
Ekonom Senior, Faisal Basri melihat pemotongan anggaran kali ini adalah buntut dari perhitungan yang tak tepat dari pejabat sebelumnya, yang mau tak mau harus dibereskan Ani.
Menurut Faisal, hal ini sudah tercermin dari pengelolaan fiskal pada 2015 yang pada saat itu dinaikkan pertumbuhan target penerimaan pajak menjadi 30 persen. Padahal, kata Faisal, Bambang sadar kenaikan pertumbuhan target alamiahnya sebesar 13 persen.
Seharusnya, sebagai pembantu presiden, menteri memberi pemahaman pada presiden secara logis mengenai potensi yang bisa dicapai di tengah kondisi perekonomian yang tak menentu. Atau dengan kata lain, tidak melakukan kesepakatan dengan hitungan yang tak realistis.
"Intinya, kalau orang masuk dengan cara yang salah di dalamnya kacau, dan baru sekarang ketemu jalan keluarnya. Itu tercermin dari APBN 2015 yang dibuat di era Presiden SBY yang targetnya naik sudah tinggi namun ditinggikan lagi 30 persen, persoalannya menterinya yes-yes aja, enggak men-challenge," kata Faisal, dalam sebuah diskusi bertema 'Perubahan atas APBN Perubahan, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/8/2016).
Dirinya berpandangan, secara latar belakang ilmu yang dimiliki yakni mengenai ekonomi regional dan pembangunan, Bambang memang lebih cocok ditaruh di Bappenas sebagai ahli merancang, bukan dalam hitung-hitungan angka fiskal.
Salah satu yang ia nilai tidak jelas yakni adalah kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak hingga Presiden harus ambil bagian untuk sosialisasi hingga tiga kali, di Surabaya, Medan dan Jakarta. Menurut Faisal, itu merupakan kerjaan menteri teknis. Apalagi yang diberi kemanjaan dengan fasilitas tax amnesty kata dia adalah maling-maling yang selama ini tak taat bayar pajak. Dirinya juga heran, bagaimana penghitungan terget penerimaan tax amnesty bisa didapat.
"Pak Jokowi sudah bagus, Alhamdulillah mau dengar satu-satunya jalan adalah amputasi, Bambang enggak mampu meyakinkan," pandang dia.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Yugi Prayanto pun beranggapan yang sama. Yugi mempertanyakan alasan Bambang yang mengajukan angka yang sangat tinggi.
Sebenarnya, pihaknya mengaku sangat takut dengan target pajak yang dibuat pemerintah dan melempar tanggapan bahwa otoritas pajak seperti berburu di kebun binatang karena semuanya dipajaki.
"Waktu Menteri Keuangannya Pak Bambang, kami lihat ekspektasinya tinggi sekali. Presiden kan kapasitasnya terbatas mengetahui soal fiskal," jelas Yugi.
Sebagai informasi, dalam APBN induk maupun APBN-Perubahan tidak ada perubahan yang signifikan dalam target penerimaan pajak non migas, yakni masih dalam kisaran Rp1.318, triliun. Namun penerimaan lainnya terkoreksi sehingga membuat penerimaan negara dari awalnya Rp1.822,5 triliun Rp1.786,2 triliun.
Sementara untuk belanja negara dalam APBN induk sebesar Rp2.095,7 triliun direvisi menjadi Rp2.082,9 triliun yakni buah hasil dari pemangkasan salah satunya penyusutan belanja K/L sebesar Rp50 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id