"Di masa bonus demografi menjadi momentum reformasi untuk penguatan fondasi dan daya saing dibutuhkan reformasi struktural yang didukung dengan reformasi fiskal yang berkelanjutan," katanya dalam webinar di Jakarta, Jumat, 19 November 2021.
Di tengah upaya mewujudkan Indonesia maju, pandemi covid-19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan. Untuk itu, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diperlukan untuk mendukung reformasi sistem perpajakan.
Pada 2020, pertumbuhan ekonomi terkontraksi minus 2,07 persen, jauh di bawah ekspektasi APBN 5,3 persen. Penerimaan pajak melemah hingga hanya mencapai 8,33 persen PDB di bawah kondisi rata-rata dalam lima tahun terakhir di angka 10,2 persen, sementara defisit dan rasio utang meningkat tajam.
"Sampai dengan saat ini, APBN telah bekerja keras untuk menahan agar pemburukan tidak terjadi terlalu dalam. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian pascapandemi yang masih dibayangi ketidakpastian, reformasi perpajakan yang mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan. Untuk itulah, UU HPP lahir," ungkapnya.
Menurut Sri Mulyani, UU HPP adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat covid-19. Reformasi yang dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global.
"Ini diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News