"Pemerintah harus optimal namun terukur dalam membelanjakan anggaran di masa status keadaan darurat ini. Apalagi, payung hukum yang menjadi amunisi bagi pengambil kebijakan sudah tersedia," kata Anggota DPR RI Intan Fauzi, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis, 2 Juli 2020.
Penetapan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Untuk mengakselerasi belanja negara, diikuti juga dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 terkait penyesuan kembali postur dan rincian APBN.
Anggaran Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus mengalami kenaikan sebanyak empat kali dalam jangka waktu singkat. Awalnya pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp405,1 triliun, kemudian naik signifikan menjadi Rp677,2 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp695,2 triliun. Kemudian pemerintah memproyeksi dana penanganan melonjak hingga Rp905,1 triliun.
"Namun sayangnya, kita menghadapi persoalan klasik yang hampir terus terjadi di setiap tahun anggaran yakni persoalan kemampuan serapan anggaran kementerian dan lembaga yang masih rendah," ucapnya.
Persoalan ini, lanjutnya, jelas berdampak langsung bagi masyarakat karena program pemerintah untuk masyarakat menjadi tersendat. Apalagi, program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik. Persoalan akut menahun ini sepatutnya tidak perlu terjadi. Sebab, anggaran yang disusun itu berbadasarkan program berbasis kinerja yang juga merupakan hasil pembahasan panjang dengan mitra kerja pemerintah di DPR.
"Jadi, alokasi anggaran di APBN itu bukan lahir dari bim salabim, tetapi hasil sebuah proses politik di parlemen. Menjadikan covid-19 sebagai kambing hitam penyebab rendahnya daya serap anggaran adalah mengada-ngada dan ironis," ucapnya.
Realisasi anggaran kementerian/lembaga sampai Mei 2020 hanya 10,41 persen. Khusus anggaran kesehatan sebesar Rp85,77 triliun yang ditujukan untuk belanja penanganan covid-19 mendapat sorotan, karena realisasi angggaran stimulus kesehatan tersebut baru mencapai 4,68 persen dari total alokasi anggaran.
"Betapa ruginya rakyat, akibat tidak optimalnya pemanfaatan anggaran yang ada. Semakin sedikit anggaran yang terserap maka fungsi anggaran sebagai alat distribusi dan pemerataan pembangunan tidak tercapai. Dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini sangat dahsyat. Karena itu, perlu kebijakan luar biasa," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, pemerintah harus memperbaiki dan memaksimalkan penyerapan anggaran ini. Jika tidak, dapat berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah. Perlindungan terhadap kesehatan masyarakat menjadi syarat penting untuk memajukan perekonomian negara. Roda kegiatan ekonomi tidak akan berjalan tanpa didukung dengan SDM yang berkualitas dan sehat.
"Publik memiliki sensitivitas tinggi terhadap anggaran. Ketidakmampuan pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan anggaran maka yang disoroti publik adalah buruknya kinerja pemerintah. Dan ini sangat memprihatinkan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News