Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan aspek kesehatan merupakan salah satu pertimbangan terbesar dalam menentukan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) di 2021. Apalagi pemerintah ingin menurunkan prevalensi merokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024.
"Dengan format kebijakan tersebut, maka hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah dari sisi kesehatan," katanya dalam video conference di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2020.
Ia menambahkan prevalensi merokok untuk anak-anak usia 10-18 tahun akan tetap diupayakan turun sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Kenaikkan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal atau affordability indeksnya naik dari 12,2 persen menjadi 13,7 sampai 14 persen, sehingga makin tidak dapat terbeli," jelas dia.
Pada 2021, Kementerian Keuangan menetapkan segmen Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I akan mengalami kenaikan CHT sebesar 18,4 persen. Sedangkan untuk SPM Golongan IIA kenaikannya sebesar 16,5 persen dan SPM Golongan IIB akan mengalami kenaikan 18,1 persen.
Selanjutnya, untuk segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I akan mengalami kenaikan tarif CHT sebesar 16,9 persen. Kemudian SKM Golongan IIA kenaikannya adalah 13,8 persen dan SKM Golongan IIB akan terjadi kenaikan CHT sebesar 15,4 persen.
"Sementara itu, untuk industri jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tarif cukainya tidak berubah atau dalam hal ini tidak dinaikan. Artinya kenaikannya nol persen. SKT adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar," ungkapnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan aspek yang diperhatikan dalam kebijakan cukai rokok tahun depan adalah pengendalian konsumsi sesuai RPJMN, masalah tenaga kerja, petani tembakau, rokok ilegal, dan penerimaan negara.
"Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah sebesar 12,5 persen. Ini dihitung rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah produksi dari masing-masing jenis dan golongan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News