"Tahun ini lebih challenging dari tahun lalu," kata Robert di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 24 Juni 2019.
Robert mengatakan tahun lalu penerimaan pajak terbilang bagus karena didukung oleh pertumbuhan ekonomi. Lalu terbantu oleh aturan pengembalian kelebihan pajak (restitusi).
Sementara tahun ini, kata Robert ekonomi bergerak agak lambat apalagi dengan adanya ketidakpastian global serta perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Padahal, kata Robert, ekonomi menjadi basis bagi pihaknya dalam mengumpulkan penerimaan pajak.
Beratnya penerimaan pajak tahun ini bisa dilihat dari realisasi hingga Mei 2019. Tercatat dari target Rp1.577,56 triliun baru 31,48 persen atau Rp496,65 triliun. Realisasi tersebut memang tumbuh 2,43 persen jika dibanding periode yang sama tahun lalu.
Bila dirinci capaian tersebut terdiri dari pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp320,49 triliun yakni PPh migas Rp26,35 triliun, PPh nonmigas Rp294,14 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Rp173,31 triliun serta Pajak Bumi Bangunan dan pajak lainnya Rp2,85 triliun.
Penerimaan yang masih lesu juga menjadi sorotan Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Bila digabungkan dengan bea dan cukai maka penerimaan perpajakan hingga bulan kelima baru Rp569,3 trilin atau 31,9 persen dari target Rp1.786,4 triliun.
"Untuk perpajakan growth-nya hanya 5,7 persen. Dibandingkan tahun lalu perpajakan tumbuh sampai 14,5 persen. Capaian tahun ini lebih rendah," ketus Sri Mulyani dalam pemaparan APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jalan Dr Wahidin Raya, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juni 2019.
Kekhawatiran Sri Mulyani terasa lantaran ramalan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun ini tumbuh melandai.
"Jadi kita mulai hati-hati karena kemarin seperti yang saya sampaikan terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami perlemahan," tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News