"Sebaiknya pemerintah tetap perlu memikirkan dan mempertimbangkan jika pemulihan ekonomi tidak model 'V' seperti yang dibuat lembaga-lembaga internasional tersebut," ujar Kamrussamad dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021, skenario pemulihan ekonomi yang disusun pemerintah bermodel 'V'. Artinya, pemerintah menganggap pandemi covid-19 ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek dan pemulihannya bersifat cepat, sehingga tahun depan ekonomi sudah mulai pulih.
Namun faktanya, kasus positif covid-19 di Indonesia saat ini justru terus terjadi peningkatan. Ini lantaran Indonesia telah memulai kenormalan baru (new normal) di saat kasus positif covid-19 belum terkendali, sehingga kemungkinan pemulihan ekonomi tidak cepat seperti yang diprediksikan.
"Skenario model 'W' (pertimbangan terjadinya gelombang kedua covid-19) maupun model 'L' (jika ekonomi tidak pulih secara cepat) tetap perlu dipertimbangkan. Ini bermanfaat untuk langkah antisipasi jangka menengah mengingat skenario jaring pengaman sosial kita hanya tiga bulan, enam bulan, dan setahun," urai Kamrussamad.
Menurutnya, saat ini rentang perbedaan proyeksi antarlembaga internasional menggambarkan ketidakpastian ekonomi yang tinggi di sisa 2020 dan 2021. Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi jika situasi gejolak ekonomi global kembali terjadi, terutama jelang akhir tahun (dinamika politik AS) dan risiko gelombang kedua pandemi.
Dari hampir semua mitra dagang utama Indonesia di negara-negara maju, jelasnya, hanya Tiongkok yang diperkirakan akan tumbuh positif di kuartal II-2020. Dalam hal ini pemerintah perlu upaya untuk mendukung ekspor ke Tiongkok. Saat Negeri Tirai Bambu tersebut mulai pulih, maka permintaan ekspor ke Indonesia juga akan naik.
Dari beberapa risiko yang membayangi outlook ekonomi 2020 dan proyeksi 2021, terdapat dua faktor global tentang geopolitik AS-Tiongkok yang menjadi masalah eksternal yang lebih susah diintervensi. Namun, faktor gelombang kedua covid-19 berkaitan erat dengan kemampuan pemerintah Indonesia dalam menangani wabah.
"Hingga saat ini belum terlihat dari skenario pemerintah jika gelombang kedua datang. Hal ini yang mengherankan dari tim ekonomi pemerintah yang terkesan percaya diri dengan satu skenario saja," ucapnya.
Sementara itu, stimulus fiskal Indonesia sebesar 4,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) juga menjadi sorotan. Besaran stimulus penting, namun kecepatan implementasi jauh lebih penting karena akan menentukan tingkat efektivitas stimulus.
Di sisi lain, kata dia, lima lembaga internasional tidak ada yang memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh satu persen pada 2020, yang tertinggi hanya 0,5 persen. Kamrussamad heran dasar proyeksi pemerintah bahwa ekonomi RI masih bisa tumbuh positif.
"Semestinya pemerintah menyiapkan skenario jika pertumbuhan ekonomi tahun ini sampai minus 3,9 persen, sehingga target pertumbuhan ekonomi 2021 lebih realistis," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id