Kepala Divisi Asesmen Makroekonomi BI Fadjar Majardi mengatakan nasib yang dialami Venezuela cenderung dipengaruhi kondisi internal negaranya. Efek domino pun dipastikan nihil lantaran Indonesia tak berhubungan secara perdagangan.
"Krisis negara itu kayanya masih jauh kelau imbas Indonesia dengan Venezuela, Turki (yang mengalami krisis) saja hubungan dagangnya sangat kecil, apalagi Venezuela," ujar Fadjar ditemui usai diskusi di Manado, Sulawesi Utara, Jumat, 24 Agustus 2018.
Ia meyakini hiperinflasi yang pernah melanda Indonesia pada 1968 tak akan kembali terjadi. Membiarkan inflasi terus memburuk sama saja dengan meruntuhkan perekonomian negara.
"Kalau dulu kita pernah di 1968 terjadi hiperinflasi karena dulu ekonomi dibiayai oleh pencetakan uang. Uang itu enggak bisa ditagih untuk beli barang akhirnya uang naik tinggi. Nah ini sekarang Indonesia kemungkinan ke sana sudah bisa dibilang tidak ada," ungkapnya.
Nilai kenaikan inflasi yang dirasakan di Tanah Air dinilai masih dalam tahap normal. Selain dipengaruhi fenomena ekonomi global, dinamika inflasi juga kerap berubah fluktuatif lantaran dipengaruhi siklus jangka pendek.
"Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari dan tugas BI juga tujuan utama menjaga kestabilan nilai rupiah. Isu inflasi sangat baik, fenomena global juga, lima tahun ini arahnya menurun. Venezuela dan Turki itu pengecualian inflasinya naik tinggi," tandasnya.
Presiden Venezuela Nicolás Maduro sebelumnya membuat rencana radikal dengan secara resmi mendevaluasi mata uang sekitar 90 persen serta menaikkan upah minimum hingga 3.000 persen untuk mengatasi inflasi yang naik sebesar satu juta persen dan kelaparan yang tinggi secara nasional.
Penghapusan lima nol dari mata uang bolívar itu telah memulai perubahannya. Di Caracas, ibu kota Venezuela, baik mata uang baru dan lama diterima di pasar dan toko. Dengan aksi ini tagihan bolivar tertinggi sebelumnya 100 ribu sekarang menjadi 1.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News