"Reformasi perpajakan harus dilakukan dengan hati-hati dan tepat waktu untuk menghindari kontraproduktif terhadap perekonomian," tegas Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky, dalam rilis Analisis Makroekonomi, Selasa, 19 Oktober 2021.
Adapun reformasi perpajakan dilakukan pemerintah dengan menetapkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini sebagai bagian dari proses reformasi struktural untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
"Penguatan sistem perpajakan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak seiring dengan berlangsungnya pemulihan ekonomi, terutama dalam jangka panjang," ungkapnya.
Hal ini juga seiring dengan upaya pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal secara bertahap hingga di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023. Adapun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, defisit fiskal ditargetkan sebesar Rp868 triliun atau 4,85 persen dari PDB.
Defisit anggaran tahun depan itu lebih rendah dari 6,1 persen dari PDB pada tahun lalu dan prospek tahun ini sebesar 5,8 persen dari PDB. Ini menandakan dimulainya konsolidasi fiskal. "Konsolidasi fiskal akan dicapai melalui reformasi perpajakan, perbaikan dan efisiensi belanja, serta pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan," tutur dia.
Secara keseluruhan, Riefky memandang bahwa Pemerintah Indonesia secara umum berada di jalur yang tepat untuk menurunkan defisit fiskal kembali menjadi 3,0 persen dari PDB pada 2023.
"Selain itu, harga komoditas yang lebih tinggi akan memberikan benefit bagi perekonomian. Jika pandemi terus mereda, perekonomian dapat mencapai pemulihan penuh yang akan meningkatkan pendapatan," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id