Ia mengungkapkan, salah satu terobosan yang dilakukan untuk mendukung APBN berkelanjutan yang ramah lingkungan adalah dengan memperkenalkan mekanisme transisi energi dan pajak karbon dalam reformasi pajak. Kebijakan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
"Skema pajak karbon ditujukan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang dapat menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi," kata dia dalam The 28th APEC Finance Ministers' Meeting, Jumat, 22 Oktober 2021.
Dengan adanya pengendalian emisi gas tersebut, Sri Mulyani berharap dapat menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana yang terjadi di Indonesia. Selain itu, upaya ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan berkelanjutan.
"Kami juga melakukan pembenahan secara struktural agar Indonesia bisa pulih lebih baik dan lebih kuat. Ini semua adalah kesempatan bagi semua untuk melanjutkan reformasi kita dan kerja sama multilateral sangat penting," ungkapnya.
Kebijakan tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030 sesuai dengan konvensi perubahan iklim (Paris Agreement) yang sudah disepakati dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Selain APBN, Sri Mulyani menambahkan, Indonesia juga mengandalkan kebijakan moneter untuk merespons kondisi pandemi covid-19 dengan tetap menjamin kehati-hatian. Dengan begitu, tidak akan membahayakan dan merusak kebijakan makroekonomi yang prudent.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News