Foto: Grafis Medcom.id
Foto: Grafis Medcom.id

Efisiensi Belanja, Kunci Atasi Tekanan APBN

Media Indonesia.com • 27 Juli 2020 08:25
Jakarta: Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menuturkan efisiensi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi kunci mengatasi tekanan akibat pandemi covid-19.
 
Hal itu berkaitan pula dengan defisit penganggaran yang saat ini diperlebar ke angka 6,34 persen. Menurut Riefky, pandemi covid-19 ikut memberikan berkah, karena pemerintah dipaksa melakukan efisiensi anggaran semaksimal mungkin.
 
"(Sekarang) baru disadari bahwa banyak belanja yang ternyata tidak terlalu efisien, seperti belanja K/L yang dapat jauh lebih dirampingkan. Pemotongan belanja-belanja yang kurang penting inilah yang saya rasa perlu dipertahankan agar beban anggaran kedepannya tidak terlalu besar dan bisa menurunkan defisit tanpa mengganggu stabilitas makroekonomi terlalu dalam," ujar Teuku saat dihubungi, dikutip dari Mediaindonesia.com, Senin, 27 Juli 2020.

Langkah tersebut, lanjut dia, dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga kesinambungan APBN di 2021. Sebab, hasil akhir APBN 2020 akan banyak mempengaruhi. Selain melakukan efisiensi belanja, pengoptimalan penerimaan pajak juga menjadi cara lain yang dapat dilakukan pemerintah. Keduanya, kata Teuku, dapat berjalan beriringan dengan melakukan penurunan defisit di 2021.
 
"Jadi dari 2020 ke 2021 lalu ke 2022, defisitnya harus diturunkan pelan-pelan dan tidak boleh terlalu drastis. Dalam konteks makroekonomi, penurunan defisit yang terlalu drastis artinya peningkatan pajak yang drastis dari pemerintah atau penurunan pengeluaran pemerintah yang sama drastisnya. Keduanya ini selain memperlambat aktivitas ekonomi secara tajam juga menimbulkan negative shock dalam pertumbuhan, ini berpotensi mengganggu proses recovery pasca-covid," jelasnya.
 
Menyoal berbagai stimulus yang dikeluarkan pemerintah dalam mengahadapi covid-19, Teuku menilai kebijakan pemerintah terbilang ideal. Anggaran sebesar Rp695,20 triliun yang mencakup penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi dinilai cukup, dengan catatan tidak terjadi gelombang kedua.
 
"Namun, yang lebih krusial saat ini adalah bukan seberapa besar yang sudah dianggarkan namun seberapa besar yang sudah disalurkan dan dicairkan ke perekonomian. Artinya selama dananya belum masuk ke perekonomian, baik itu masyarakat maupun dunia usaha untuk stimulus kesehatan dan ekonomi maka belum terjadi dampak real dari stimulus di perekonomian," pungkas Teuku.
 
Pemerintah menargetkan defisit sebesar 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pelebaran defisit itu tertuang dalam Peraturan Presiden 72/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. (M. Ilham Ramadhan Avisena)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan