BMDTP yang hanya berlaku satu tahun juga akan mengganjal pembelian material yang sudah dari dalam negeri karena penyerapan anggaran setiap tahun telah dipatok, tidak dapat diganti. Pelaku usaha menginginkan fasilitas tersebut terus ada seiring dengan keberadaan proyek yang tidak teratur.
"Misalnya dapat proyek dari sini, tidak perlu menunggu lagi, harus mulai saja, jadi di smooth-kan lagi," tukasnya. Birokrasi mengurus BMDTP menurutnya panjang dan biasanya baru turun bulan September.
Lambatnya BMDTP menurutnya akan menambah denda proyek yang telat terbangun. Maka dari itu Firmansyah setuju insentif perlu diubah.
"Di Batam itu tumbuh bagus sekali, di copy saja environment di Batam ke sini, contohnya PPN, bea masuk," ucap dia. Perbedaan perlakuan antara wilayah Batam dengan luar Batam, lanjutnya dilihat dari PPN 10%, di Batam sebagai wilayah Free Trade Zone tidak ada PPN sedangkan di luar Batam ada.
Sementara itu, terkait bea masuk komponen industri kapal, menurutnya pemilik kapal akan memilih komponen yang lebih murah. "Galangan kapal kalau beli komponen pakai PPN, jatuhnya ke harga kapal lebih mahal, jadinya impor," katanya.
Dia pun menjabarkan impor komponen banyak mulai dari bahan dasar. Sedangkan jika ingin memakai dari buatan dalam negeri belum memenuhi syarat dari jumlah produksi hingga harga.
"Produksi kami per tahun 7-8 kapal per tahun dengan bobot paling besar 50 ribu DWT (tonase bobot mati), agak susah kalau mau dibesarkan," tuturnya. Dia menyarankan agar industri galangan kapal dikembangkan di Indonesia bagian timur semaksimal mungkin karena di timur ada 24 pelabuhan.
Walaupun dia mengakui tidak semua pelabuhan memiliki galangan, Firmansyah tetap optimis masing-masing industri galangan kapal di daerah memiliki segmen pasar sendiri yang dapat dikembangkan. PT PAL sendiri terus mengembangkan diri, melakukan perencanaan dengan menghitung nilai investasi dari kondisi bisnis yang ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News