Kendati demikian, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang BI Suhaedi menuturkan, hal tersebut tak berlaku setelah masa transisi berakhir. Tentu diharapkan redenominasi nantinya bisa memberikan efek positif bagi perekonomian Indonesia, terutama dari aspek penguatan gerak nilai tukar rupiah.
Suhaedi menambahkan, ke depan ada masa transisinya dan akan mengikuti bagaimana negara-negara lain yang telah berhasil melakukan redenominasi. Apabila uang transisi sudah disetujui maka nantinya uang transisi disesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut.
"Kalau sudah ketok, uang Rp100 ribu merah, bila mengikuti Tmcara Turki, kita mencetak uang transisi uang yang sama warnanya hanya nolnya bisa 2-3 atau bisa empat kuranginnya nanti, tinggal apakah nolnya langsung hilang atau dikecilkan," ujar Suhaedi, di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Rabu malam 26 Juli 2017.
Suhaedi menegaskan, redenominasi rupiah hanya penyederhanaan nominal rupiah tanpa mengurangi nilai dari mata uang tersebut. Sama halnya dengan penggunaan uang rupiah dalam transaksi di sejumlah restoran atau kafe.
"Jangan masyarakat dibuat pusing, redenominasi itu hanya penyederhanaan. Kita suka nongkrong di cafe juga tulisan 50 ribu nolnya enggak ada kan tinggal angka 50," ujarnya.
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi atau pemangkasan jumlah nominal mata uang ini sudah mendapat restu Presiden Joko Widodo dan menunggu persetujuan DPR RI.
Sebelumnya, BI meyakini RUU redenominasi rupiah bisa diserahkan kepada DPR tahun ini. Redenominasi rupiah dinilai penting untuk menyederhanakan mata uang Garuda. Di sejumlah negara lain, nilai dolar tidak sebanyak di Indonesia. Malaysia misalnya, USD1 hanya 4 ringgit, Singapura lebih kecil lagi yakni 1,5 dolar Singapura.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News