Segala upaya untuk memaksa Google membayar pajak atas penghasilkan yang didapatkan dari bisnisnya di Indonesia pun telah dilakukan DJP, mulai dari proses negosiasi hingga penyerahan bukti atau data transaksi bisnis berupa elektronik file.
Memang ada niat baik Google dengan didatangkannya perwakilan Google Indonesia ke kantor pusat pajak, kemarin, Kamis, 20 Januari. Namun, menurut pengamat pajak Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, upaya baik itu tak cukup.
Dia mengatakan keterbatasan wewenang DJP menjadikan otoritas tersebut sulit untuk menekan Google. Apalagi Google berlindung di bawah perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty yang dilakukan antara Indonesia dengan Singapura di mana aktivitas online bukan lah yang termasuk bentuk usaha tetap (BUT) sehingga tidak bisa dipajak.
"Ada kelemahan di dasar hukum, kalaupun dipaksakan BUT, kita akan kalah, itu fakta," kata Pras pada Metrotvnews.com, Jumat (20/1/2017).
Namun demikian, kata Pras, Pemerintah tentu tak kan menutup operasional Google karena Indonesia masih membutuhkan jasa Google sehingga perusahaan raksasa digital asal Amerika Serikat itu pun akan terus memanfaatkan pasarnya di Indonesia.
Untuk itu, menurut Pras, DJP perlu meniru gaya Inggris dalam memajaki Google dengan menerapkan wistleblower atau mata-mata yang menjadi marketing kegiatan Google di negara tersebut.
"Ini yang enggak ada di Indonesia, mengizinkan orang atas nama Google Asia Pasific, ya meskipun kita bisa minta exchange international," ujar dia.
Selain itu, cara lain lagi, menurut Pras yakni dengan membuka kembali peluang negosiasi antara Google dan Pemerintah dalam menentukan kesepakatan tarif pajak. Pras menekankan, negosiasi akan sangat bergantung pada data. Sepanjang DJP tidak punya, maka Google akan selalu menghindar.
Asal tahu saja, Desember lalu, DJP menyatakan proses settlement atau penyelesaian dengan negosiasi mengenai kewajiban pajak dengan Google Asia Pte Ltd yang berkantor di Singapura ditutup dan akan melanjutkan pemeriksaan biasa. Artinya kesempatan DJP memberikan tarif 'damai' bagi Google tak berlaku lagi sehingga Google bakal dikenakan denda 150 persen dari pokok pajaknya, yang mana denda plus pokok pajak untuk 2015 saja diperkirakan Rp5 triliun.
"Negosiasi masih berpeluang, bagaimana pun Google butuh market kita. Ada bargaining di situ. Saya kira Google akan berkepentingan di situ," jelas dia.
Sekadar informasi, jika bulan Januari Google masih juga tak memberikan data yang diminta, maka DJP tak segan untuk melakukan investigasi secara menyeluruh (full investigation) yang berarti akan dikenakan denda lebih besar lagi yakni 400 persen yang diatur dalam UU KUP.
Full investigasi dilakukan apabila tidak ada niat baik dari Google dalam bekerja sama dengan otoritas pajak untuk keperluan pemeriksaan. Mereka menolak diperiksa dan tidak mau memperlihatkan pembukuannya serta melawan otoritas pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id