Menurut Hardjuno, salah satu opsi menyelamatkan APBN adalah menghentikan dengan pembayaran obligasi rekapitalisasi yang selama ini membebani anggaran negara.
Hardjuno menegaskan, pembayaran obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
"Setiap tahun, Rp50 triliun sampai Rp70 triliun dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap ini. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPN dan subsidi energi dipangkas. Di mana keberpihakan pemerintah?" ketus Hardjuno dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 2 Desember 2024.
Kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga ini menjelaskan, pemerintah harus berani mengambil langkah progresif untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Ia menilai alokasi anggaran ini sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.
"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," ujar dia.
Baca juga: Opsi Terbaik Tunda PPN 12% |
Ringankan beban APBN
Hardjuno menjelaskan, jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan PPN atau mengurangi subsidi energi.
"Langkah ini tidak hanya akan meringankan beban APBN, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga-harga dan inflasi. Naik PPN dapat Rp 100 triliunan tapi harga-harga melambung tinggi daya beli makin tergerus, bandingkan dengan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI," katanya.
Hardjuno mengakui keputusan untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI memerlukan keberanian politik yang besar. Pasalnya, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh pembayaran obligasi rekap.
"Namun, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, ini adalah langkah yang harus diambil. BLBI adalah masa lalu yang sudah selesai, dan beban yang ditimbulkan tidak seharusnya terus menjadi warisan untuk generasi mendatang," ujar Hardjuno.
Ia juga mengingatkan, subsidi energi adalah kebutuhan mendasar bagi rakyat kecil, dan pengurangan subsidi hanya akan memperlebar ketimpangan sosial. "Jangan sampai pemerintah memilih jalan mudah dengan membebani rakyat melalui kenaikan PPn dan pengurangan subsidi energi, sementara beban berat BLBI tetap dibiarkan," jelas dia.
Jika pemerintah berani menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, Hardjuno optimis langkah ini akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program pembangunan yang pro-rakyat.
"Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah ingin mengutamakan kepentingan rakyat, atau terus tunduk pada warisan kebijakan yang sudah tidak relevan?" tanya Hardjuno kritis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News