Ia menyebut, kebijakan yang ada di Amerika Serikat (AS) maupun Tiongkok sering kali merembet sehingga berdampak ke Indonesia. Bahkan kebijakan AS yang memberi stimulus USD1,9 triliun dikhawatirkan membuat volatilitas di pasar keuangan.
"Kita masih terdampak spill over kebijakan yang terjadi di AS atau pun Tiongkok, tapi kita akan terus meningkatkan fundamental. Sehingga spill over terjadi tidak akan merusak atau membuat ekonomi kita kolaps," kata dia dalam Fitch Indonesia Conference 2021 secara virtual, Rabu, 24 Maret 2021.
Salah satu dampak yang terasa adalah kenaikan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) akibat kenaikan yield US Treasury yang mencapai 85 persen. Meski begitu Sri Mulyani memastikan bahwa kenaikan yield di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain.
"Imbal hasil surat berharga kita naik hanya 11 persen, sedangkan US Treasury naik hampir 85 persen. Setidaknya pemegang surat utang kita merasa aman dengan bond Indonesia dan kami akan menjaga confidence dengan kebijakan kita," ungkapnya.
Ia menambahkan, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah mendorong peningkatan jumlah investor domestik di pasar surat berharga. Dengan begitu, ketergantungan terhadap dana asing bisa semakin dikurangi yang saat ini sudah di bawah 30 persen.
"Terkait non residen yang sekarang memegang surat utang Indonesia, saat ini sudah turun dari saat taper tantrum 38 persen sekarang dibawah 30 persen. Saat ini kita terus meningkatkan basis investor domestik, baik dari sisi ritel maupun institusi," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News