Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, penerbitan Perpres ini menjadikan Indonesia sebagai penggerak pertama (first mover) dalam penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
"Instrumen ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," kata Febrio, dalam keterangan resminya, Selasa, 2 November 2021.
Pada 2016, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020-2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional.
Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
Dokumen NDC 2021
Bahkan pada dokumen update NDC 2021, melalui long term strategy-low carbon and climate resilience (LTS-LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal. Namun untuk mencapai target NDC, pemerintah perlu melakukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan."Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas 2045," ungkap Febrio.
Selain komando dan kendali (command and control), upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar atau Market-Based Instruments (MBI). Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing.
Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau Result-Based Payment (RBP).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News