Perumusan aturan tersebut dikebut pengerjaannya dan diharapkan bisa dikeluarkan pada kuartal pertama 2018, atau sebelum implementasi dari kebijakan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
"Sebelum April, AEOI kan diterapkannya bulan itu. Mudah-mudahan sebelum itu, artinya di kuartal satu bisa diselesaikan," kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar pada Medcom.id di Kemenko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Januari 2018.
Arif mengatakan pada dasarnya Menteri Keuangan Si Mulyani Indrawati memberikan batas atau deadline bagi para tiga satuan tersebut untuk menyelesaikan aturan pajak e-commerce. Namun, dirinya tak menjawab spesifik kapan waktu tersebut.
"Iya kita juga ditagih, mudah-mudahan secepatnya. Kita juga ingin itu cepat kelar," tutur Arif.
Dalam aturan tersebut, selain mengatur mengenai pajaknya, juga terkait bea masuk untuk barang tak berwujud (intangible goods).
Penerapannya akan dilakukan secara bertahap yakni untuk pelaku e-commerce domestik terlebih dahulu, baru kemudian untuk yang berasal dari luar. Dengan kata lain, semua dikenakan (parsial).
"Kalau misalnya parsial kan harus perhatikan level of playing field. Domestik kena, yang ekspor impor bagaimana?" tutur dia.
Lebih lanjut, terkait tarif, kata dia, seperti yang ada pada UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mana tarif PPN tetap 10 persen, sementara PPh untuk omzet di bawah Rp48 miliar maka kena satu persen.
"Kalau yang PPh kami berikan alternatif PP 46, kalau di bawah, kalau di atas itu pasal 17 normal," kata dia.
Saat ini, draf pemantapannya sudah ada di meja BKF. Pembahasan aturan tersebut terkesan memakan waktu lama karana terhambat penentuan Wajib Pungut (WAPU) untuk PPN. Salah satu pilihan yang dirancang pemerintah, marketplace, dan penyedia jasa kurir akan ditetapkan sebagai wajib pungut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News